Bogor (ANTARA) - Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengaku ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo ihwal rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusulkan oleh DPR RI.

Ketua Kopel Indonesia Anwar Razak, di Bogor, Selasa, menyebutkan bahwa pihaknya akan menyampaikan keberatan yang menurutnya juga dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia mengenai rencana revisi UU KPK.

"Sebenarnya kita mendesak DPR RI. Tapi, jika dilihat posisi draf ini mesti ada persetujuan Presiden. Maka Presiden punya power untuk menghentikan. Kita akan melihat, apakah bisa bertemu langsung dan minta langsung untuk bertemu," ujarnya, usai melaksanakan diskusi menolak revisi UU KPK, di Kota Bogor, Jawa Barat.
Baca juga: Wapres: Pemerintah tidak setujui semua usulan revisi UU KPK

Menurutnya, pada diskusi yang dihadiri juga oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi dan Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti timbul beberapa gagasan dalam menolak revisi UU KPK.

"Ada beberapa pandangan, pada intinya kita semua tidak sepakat revisi undang-undang KPK ini diteruskan. Ini mohon dihentikan. Kami, selain ke DPR meminta kepada Presiden," kata Anwar.
Baca juga: Guru Besar LIPI: Revisi UU KPK pembohongan publik

Di samping itu, ia mendorong masyarakat di berbagai daerah di Indonesia bersama-sama menyuarakan revisi UU KPK yang dianggapnya akan melemahkan KPK. Pasalnya, kekuatan publik menurutnya akan menjadi patokan respons Presiden.

"Kalau kekuatan publik lemah, respons presidennya akan lemah, sehingga kami akan terus mengampanyekan baik di Bogor dan daerah-daerah lain, bukan hanya Jakarta," katanya lagi.