Jakarta (ANTARA News) - Para aktivis pro-demokrasi mengatakan bahwa rakyat di Myanmar (Burma) hidup dalam penderitaan di bawah junta militer dan siap menghadapi risiko apapun menuju perubahan yang demokratis. Hal tersebut disampaikan oleh para aktivis pro-demokrasi dari Myanmar dalam diskusi bertema "Burma: Perdamaian, Kebebasan dan Demokrasi", di Jakarta, Rabu. Para aktivis pro-demokrasi juga mengadakan pameran foto tentang penderitaan rakyat Myanmar di lobbi Hotel Nikko Jakarta. "Kami sebagai biksu tak pernah memprovokasi aksi-aksi kekerasan dan kami juga tak punya agenda politik untuk menggulingkan pemerintah atau merebut kekuasaan," kata U Nayaka, anggota Organisasi Biksu Burma Internasional (IBMO). Ia mengatakan para biksu terpanggil untuk melaksanakan kewajiban setelah melihat rakyat Myanmar hidup dalam penderitaan dan tak berdaya. "Kami menghendaki pemerintah Myanmar menghormati hak-hak azasi manusia," kata Nayaka, yang memiliki pengalaman luas dalam memperjuangkan demokrasi di negerinya. U Awbata, yang juga anggota IBMO, mengaku ia menyaksikan dan mengalami sendiri penumpasan oleh tentara terhadap ribuan biksu yang berunjuk rasa dan meneriakkan perdamaian di Myanmar pada September 2007. "Mereka ditembaki oleh rezim militer yang kejam," katanya. Rezim militer tak hormati HAM Soe Aung, juru bicara Dewan Nasional Uni Burma (NCUB), mengatakan junta militer ingin tetap berkuasa selama-lamanya dan mengabaikan praktek-praktek demokratis. "Perlu dukungan internasional termasuk dari negara-negara anggota ASEAN untuk menekan rezim militer di Burma agar mereka berubah dan menghormati hak-hak azasi manusia," kata Aung. Menurut dia, para anggota ASEAN dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap pemerintahan junta militer di Myanmar. "Jika Burma gagal dalam berbagai aspek kehidupan, para anggota ASEAN akan terkena dampaknya," katanya. Pada 3 Mei lalu, topan Nagris melanda sejumlah kawasan utama Myanmar dan merenggut lebih 100.000 jiwa. Jutaan orang kehilangan rumah dan kelaparan serta tanpa air bersih. Mereka memerlukan makanan, air dan obat-obatan. Biksu Awbata mengatakan rezim militer itu telah mengabaikan nasib rakyat dan tetap menyelenggarakan referendum yang mengesahkan kebrutalannya, melanggar hak-hak azasi manusia dan keinginan masyarakat internasional. "Rezim itu telah memberlakukan pembatasan terhadap organisasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan dan memaksa mereka menghentikan operasi," katanya. Rezim militer batasi aktivitas kaum Muslim Rohingya, Kristen Direktur Eksekutif kantor berita Kaladan yang berkedudukan di Bangladesh, Mohamed Taher, mengatakan bahwa rezim militer itu juga telah memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap pemeluk Kristen dan Islam. "Mereka tak memberikan status sebagai warga negara bagi muslim Rohingya," kata Taher, warga muslim Rohingya, menyebutkan salah satu pembatasan. "Kalau dianggap orang asing ilegal, kami tak diberikan kartu sebagai orang asing." Menurut dia, muslim Rohingya tak dapat melaksanakan kewajiban mereka secara bebas dan hidup secara normal. Diskusi tersebut juga menghadirkan Dr. Kusnanto Anggoro sebagai akademisi dan Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Kusnanto menyatakan bahwa tekanan internasional terhadap rezim militer itu diperlukan agar mereka memerintah secara demokratis. "Rezim militer yang berkuasa di manapun sama dan memerintah tak demokratis," katanya. Sementara itu Eva Kusuma Sundari memberikan alasan-alasan mengapa ia mendukung Myanmar yang demokratis. "Pemerintah dan bangsa Indonesia dapat berbuat lebih banyak dan semua elemen bangsa dapat mendorong pemerintah agar dapat membawa perdamaian dan demokrasi ke Burma," kata Eva. Ia juga mengatakan, "Kita harus mengakhiri kisah duka dan kematian di Myanmar dan menciptakan suatu babak baru penuh harapan."(*)