Sofyan Djalil: Ciptakan energi positif rawat perdamaian Aceh
14 Agustus 2019 20:03 WIB
Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN (tengah) bersama para pembicara dalam Dialog Publik "Memaknai Perdamaian Aceh: Refleksi 14 Tahun 'MoU' RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Jakarta, Rabu (14/8/2019). (Foto: Zuhdiar Laeis)
Jakarta (ANTARA) - Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN mengajak seluruh elemen untuk menciptakan energi positif dalam rangka merawat perdamaian di Aceh yang sudah berjalan selama 14 tahun terakhir.
"Mari kita ciptakan energi positif. Semuanya akan terpengaruh. Namun, kalau kita ciptakan energi negatif, ya, negatif semua," katanya di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut diungkapkan sosok kelahiran Kabupaten Aceh Timur, 23 September 1953 itu, saat Dialog Publik "Memaknai Perdamaian Aceh: Refleksi 14 Tahun MoU RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)".
Sofyan mengakui perdamaian bukan proses sekali jadi, namun terus berproses. Selama 14 tahun sejak MoU Helsinki, ia merasakan aspek positif yang sangat luar biasa, yakni kedamaian di Aceh.
"Bahwa dalam pelaksanaan masih ada yang kurang, ya diperbaiki. Itu hal yang biasa sekali karena perdamaian tidak selesai dalam satu malam, ada proses. Banyak generasi yang traumatik sehingga tidak bisa melihat secara overall," tuturnya.
Jika ada ketidakpuasan dengan kondisi di Aceh, misalnya, masalah ketidakadilan, birokrasi tidak efektif, penumpang gelap korupsi, bukan masalah Aceh saja. Itu secara nasional, ujarnya.
Artinya, kata dia, seluruh pihak harus bersama-sama berdialog, saling bersinergi, dan mencari persoalan utama untuk kemudian memecahkannya.
"Perlu didialogkan. Kan ada tokoh Aceh, harus terus dialogkan. Kalau ada masalah, dibicarakan. Ibarat mobil, harus di-maintenance terus," tegasnya.
Sementara itu, anggota DPD RI asal Aceh Fachrul Razi mengatakan yang mengisi perpolitikan Aceh saat ini merupakan anak-anak muda yang menjadi bagian dari konflik hingga perdamaian.
Yang perlu diperhatikan, kata dia, generasi mendatang yang akan menduduki pemerintahan di Aceh harus disiapkan agar memiliki kesamaan misi, narasi kebangsaan, dan perdamaian.
"Agar on the track dengan (apa yang dicapai di) Helsinki," katanya.
"Mari kita ciptakan energi positif. Semuanya akan terpengaruh. Namun, kalau kita ciptakan energi negatif, ya, negatif semua," katanya di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut diungkapkan sosok kelahiran Kabupaten Aceh Timur, 23 September 1953 itu, saat Dialog Publik "Memaknai Perdamaian Aceh: Refleksi 14 Tahun MoU RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)".
Sofyan mengakui perdamaian bukan proses sekali jadi, namun terus berproses. Selama 14 tahun sejak MoU Helsinki, ia merasakan aspek positif yang sangat luar biasa, yakni kedamaian di Aceh.
"Bahwa dalam pelaksanaan masih ada yang kurang, ya diperbaiki. Itu hal yang biasa sekali karena perdamaian tidak selesai dalam satu malam, ada proses. Banyak generasi yang traumatik sehingga tidak bisa melihat secara overall," tuturnya.
Jika ada ketidakpuasan dengan kondisi di Aceh, misalnya, masalah ketidakadilan, birokrasi tidak efektif, penumpang gelap korupsi, bukan masalah Aceh saja. Itu secara nasional, ujarnya.
Artinya, kata dia, seluruh pihak harus bersama-sama berdialog, saling bersinergi, dan mencari persoalan utama untuk kemudian memecahkannya.
"Perlu didialogkan. Kan ada tokoh Aceh, harus terus dialogkan. Kalau ada masalah, dibicarakan. Ibarat mobil, harus di-maintenance terus," tegasnya.
Sementara itu, anggota DPD RI asal Aceh Fachrul Razi mengatakan yang mengisi perpolitikan Aceh saat ini merupakan anak-anak muda yang menjadi bagian dari konflik hingga perdamaian.
Yang perlu diperhatikan, kata dia, generasi mendatang yang akan menduduki pemerintahan di Aceh harus disiapkan agar memiliki kesamaan misi, narasi kebangsaan, dan perdamaian.
"Agar on the track dengan (apa yang dicapai di) Helsinki," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: