Jakarta (ANTARA) - Rasa penasaran hingga pelarian masalah merupakan faktor yang banyak menjadi alasan mahasiswa terjerat penggunaan obat-obatan terlarang atau dikenal dengan narkoba.

"Alasan paling besar kenapa gue coba itu, ya penasaran. Gue rasa semua orang yang nyobain pasti penasaran dulu," ungkap GP salah satu mahasiswa universitas swasta di Jakarta yang pernah mencoba narkoba jenis mariyuana saat ditemui oleh Antara, Selasa.

Ia mulai menggunakan narkotika karena ditawari secara gratis oleh temannya yang sudah lebih dulu menggunakan obat terlarang jenis psikotropika itu.

"Namanya orang penasaran dan masih muda banget ya jadinya semua dicoba," kata GP.

Berbeda dengan GP, mahasiswa lainnya TA mengungkapkan alasan menggunakan narkoba karena masalah pribadi.

"Pelarian dari masalah pribadi, saat itu gue kira gue bisa lupain masalah gue. Taunya malah jadi paranoid," kata TA yang pernah mencoba narkotika jenis LSD yang termasuk dalam golongan halusinogen.

Pengedaran narkoba di kawasan perkuliahan bukanlah hal baru seperti yang diungkapkan oleh BNNP (Badan Narkotika Nasional Provinsi) DKI Jakarta.

"Sebenarnya kalau baru banget juga tidak, karena sebelumnya sempat ada berita juga. Tapi namanya juga kejahatan, setiap saat terus meningkat, berubah dan ada trennya," kata Kepala Bidang Rehabilitasi BNNP DKI Jakarta dr Wahyu Wulandari di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Unas: Razia perangi narkoba di kampus jadi syok terapi
Baca juga: UKI antisipasi peredaran narkoba di lingkungan kampus
Baca juga: BNNP DKI: Narkoba jaringan kampus bukan modus baru


Sebelumnya, pada Senin (29/7) polisi telah menangkap lima orang pengedar ganja jaringan kampus, termasuk TW dan PHS merupakan mahasiswa aktif pada salah satu kampus di Jakarta Timur.

Sedangkan tiga orang lainnya yaitu, HK, AT, dan FF merupakan mahasiswa "drop-out". Dari penangkapan itu, ditemukan barang bukti berupa 12 kilogram ganja.

Atas perbuatan itu tersangka dikenai Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyalahgunaan Narkoba. Ancamannya adalah hukuman pidana penjara 20 tahun sampai seumur hidup.

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019