Beberapa poin reformasi perpajakan menjadi penting karena ini akan menentukan bagaimana nasib penerimaan perpajakan dalam jangka panjang.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy menilai reformasi perpajakan bisa mengatasi pelebaran defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Ia menyampaikan reformasi perpajakan akan meningkatkan kapasitas penerimaan negara dan mengembalikan tren pertumbuhan ekonomi.

"Beberapa poin reformasi perpajakan menjadi penting karena ini akan menentukan bagaimana nasib penerimaan perpajakan dalam jangka panjang," kata Yusuf saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Baca juga: Sri Mulyani: Defisit APBN semester I-2021 sebesar 1,72 persen PDB

Salah satu contoh reformasi perpajakan yang cukup penting, menurut Yusuf adalah mendorong tarif yang lebih tinggi untuk pajak penghasilan untuk orang dengan penghasilan di atas Rp1 miliar.

"Saya kira ini menjadi penting karena potensi dari pajak penghasilan orang super kaya di Indonesia relatif besar," ujar Yusuf.

Selain itu, memitigasi skema atau rezim pajak teritorial yang kini berlaku di Indonesia dinilainya juga penting dilakukan guna memastikan penerimaan pajak bisa maksimal dalam jangka pajak.

"Kebijakan apa saja yang harus di dilakukan pemerintah agar perubahan rezim pajak ini bisa berhasil meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang," tuturnya.

Baca juga: Presiden: Pemerintah perhatikan rekomendasi BPK soal pembiayaan APBN

Selain itu, Yusuf menilai pemerintah juga perlu terus mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 5 persen, seperti sebelum pandemi COVID-19, agar penerimaan pajak bisa kembali ke level yang lebih tinggi.

Defisit APBN 2020 tercatat mencapai 6,09 persen dan pada tahun ini batas maksimum angka defisit ditetapkan sebesar 5,7 persen.

Berdasarkan UU No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19, angka defisit di atas 3 persen hanya diperbolehkan hingga 2022. Pemerintah menargetkan angka defisit APBN kembali ke level 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021