Jakarta (ANTARA) - Anda yang berkesempatan menjadi tempat curahan hati kolega yang mengalami masalah kesehatan mental misalnya depresi sebaiknya jangan menanggapi dengan reaktif.

Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia, Mega Tala Harimukthi menekankan pentingnya tanggapan responsif yang mengedepankan berpikir sebelum berkomentar atau malah bertindak.

Tanggapan seorang presenter televisi saat menjadi juri di suatu ajang pencarian model belum lama ini bisa menjadi contoh. Dia menanggapi keluh kesah salah satu peserta pencarian bakat model yang pernah mengalami depresi akibat tekanan pekerjaan dan berujung gangguan makan.

Mendengar curahan hati itu, sang presenter mengatakan ketidakpahamannya mengingat peserta tampak baik secara visual dan menilai tekanan di dunia pekerjaan suatu hal yang lumrah.

Tanggapan tersebut kemudian menjadi bahan perbincangan warganet yang menilai sang presenter tak peka dan terkesan menyepelekan masalah mental model.

Baca juga: Tanggapi kesehatan mental dengan empati

Tala menilai sang presenter tidak perlu reaktif melalui komentarnya. Sebaliknya, dia perlunya melakukan validasi dari sisi perasaan dan pemikiran sang model saat mengalami masalah mental.

Menurut dia, ada baiknya saat seseorang mendengar curahan hati semacam ini, dia berusaha terlebih dulu menerima dan memahami apa yang membuat dia mengalami masalah itu.

"Memang sebaiknya jangan reaktif seperti itu komentarnya. Kan yang mengalami masalah perlu divalidasi dulu gimana perasaannya, pikirannya saat dia mengalami itu. Meskipun enggak dipungkiri dalam dunia industri hiburan dan khususnya modelling mengalami gangguan makan ini bukan hal baru," kata dia kepada ANTARA saat dihubungi Rabu.

Psikolog klinis dewasa dari Yayasan Pulih, Nirmala Ika menangkap kesan sang presenter menyepelekan depresi yang dialami model dalam komentarnya.

Depresi, menurut Ika, bukan melulu karena ada yang kurang dalam hidup seseorang, kurang bersyukur dan alasan lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi depresi, antara lain fungsi-fungsi tubuh terkait dengan hormon, gen, atau malah penderita sendiri tak tahu penyebabnya.

Pengalaman hidup dan karakter seseorang dalam sebuah keluarga atau lingkungan juga bisa memainkan peran mencetuskan depresi.

Depresi karena tuntutan memiliki bentuk tubuh ramping, sebenarnya tak hanya dialami mereka dengan profesi model. Ika mengaku menemukan banyak klien yang berkonsultasi masalah ketubuhannya.

Ika yang menggunakan pendekatan Zen, perubahan perilaku, Brainspotting, seni gambar, Teknik Capacitar dan transgenerational dalam sesi terapinya itu mengakui, orang-orang cenderung hidup di dunia yang senang mengatur dan memberikan standar-standar terhadap bentuk tubuh dan wajah dan ini sebenarnya menyakitkan.

"Banyak yang akhirnya merasa tidak bahagia atau sulit menerima dirinya karena kondisi fisiknya. Nah biasanya memang saya akan gali satu persatu apa yang paling mengganggu dari dia, apa yang membuat image dia jadi begitu, kemudian kami cari cara untuk mengelola itu dan belajar mencintai diri kita sendiri," jelas Ika.

Untuk itu, dalam menanggapi, sebaiknya hindari berkomentar menggunakan kalimat seperti "Halah masalah gitu aja dipikirin, sudahlah lupain" atau "makanya rajin ibadah biar enggak gampang stres."

Umumnya kalimat semacam ini sering terlontar sebagai reaksi orang lain terhadap orang yang mengalami stres dan depresi. Walau ada kesan menguatkan, namun bisa jadi malah tak menyelesaikan masalah.

Ika berpendapat, kalimat semisal "Ah kena masalah gitu aja langsung depresi", "Ya udah, sabar aja, tawakal/ikhlasin" atau malah mengaitkannya dengan masalah orang lain, terkadang bisa menyakitkan pada sebagian orang.


Baca juga: Anak muda alami penurunan kondisi mental selama pandemi

Baca juga: Jalani hidup tanpa panik ala "JOMO" dari Tanya Dalton

Baca juga: Pangeran Harry jadi chief impact officer perusahaan kesehatan mental


 

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021