Jakarta (ANTARA) - Sebuah dokumen yang dirilis pada 8 Desember lalu menjelang pertemuan Komite Penasihat Vaksin dan Produk Biologi Terkait (VRBPAC) pada 10 Desember mengungkapkan empat kasus penerima vaksin COVID-19 dari Pfizer mengalami Bell's palsy atau lumpuh pada otot wajah sehingga sisi wajah tampak melorot.

Bagaimana bisa kondisi ini terjadi dan apa memang ada hubungan kondisi ini dengan vaksin COVID-19?

Pakar neurologi di David Geffen School of Medicine di UCLA, Jason D Hinman menjelaskan, Bell's palsy disebabkan oleh kerusakan pada saraf kranial ketujuh yakni salah satu saraf wajah.

"Ini bisa terjadi akibat trauma, tetapi lebih sering terjadi karena infeksi virus pada saraf itu sendiri," kata dia seperti dilansir Health, Jumat.

Baca juga: Bell's Palsy, penyakit berbagai profesi

Baca juga: Miss Slovenia tampil dengan separuh wajah lumpuh


National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menyebut kondisi ini bisa dialami orang-orang dari segala usia. Faktor risikonya termasuk kehamilan, preeklamsia, obesitas, hipertensi, diabetes, dan penyakit saluran pernapasan atas.

Dari sisi gejala, Bell's palsy biasanya hanya memengaruhi satu sisi wajah, tetapi bisa juga kedua sisinya. Gejalanya bervariasi tetapi umumnya satu sisi wajah tiba-tiba terasa lemah, kelopak mata atau sudut mulut yang terkulai, air liur yang keluar, ketidakmampuan untuk menutup mata atau mulut, perubahan rasa, dan keluarnya air mata yang berlebihan.

Gejala muncul tiba-tiba dan mencapai puncaknya dalam 72 jam. Pada kondisi yang lebih parah bisa membuat penderita lumpuh total.

Adakah hubungannya dengan vaksin COVID-19?

Hinman tak yakin kondisi ini bisa disebabkan SARS-COV-2 atau virus yang menyebabkan COVID-19 ataupun vaksinnya.

"Saya tidak dapat membuat hubungan langsung dengan vaksin dan menduga ini kebetulan. Angka kejadian Bell's palsy kira-kira 20 dari 100.000 orang. Sementara studi Pfizer memeriksa 38.000 pasien, jadi empat kasus Bell's palsy disebut berada dalam insiden normal yang diamati," tutur dia.

Masalah serupa muncul beberapa dekade yang lalu, ketika beberapa kasus orang terisolasi mengembangkan Bell's palsy setelah mendapatkan vaksin flu. Namun, tidak ada penelitian yang berhasil menemukan hubungan antara vaksin flu dan Bell's palsy.

Lalu, haruskah Anda khawatir tentang vaksin COVID-19 yang menyebabkan Bell's palsy? Mungkin tidak, karena tidak ada hubungan yang ditemukan, kata Hinman.

Menurut dia, jumlah kecil subjek penelitian yang diketahui telah mengembangkan kondisi ini mengerdilkan ratusan ribu orang yang terdaftar dalam uji coba penelitian.

Bila Bell's palsy terjadi, terkadang penutup mata diperlukan jika otot kelopak mata terganggu dan kelopak mata tidak bisa menutup sepenuhnya. Penting untuk menjaga mata tetap lembap dengan obat tetes mata dan melindunginya dari kotoran dan cedera, terutama di malam hari.

NINDS juga merekomendasikan analgesik seperti aspirin, asetaminofen, atau ibuprofen untuk meredakan nyeri, dan terapi seperti terapi fisik, pijat wajah, atau akupunktur dapat membantu fungsi saraf wajah dan pereda nyeri. Selain itu, berkonsultasi ke dokter dianjurkan.

Baca juga: Puan ajak anggota DPR perkuat optimisme masyarakat

Baca juga: Minyak melonjak dipicu optimisme vaksin, Brent tembus 50 dolar/barel

Baca juga: Legislator usul pejabat divaksin pertama untuk tingkatkan kepercayaan

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020