Pemilih usia muda yang antusias memiliki berbagai alasan, yakni ingin daerahnya lebih maju, ingin punya pemimpin yang lebih baik, terpenuhi hak konstitusional, dan mempertahankan pemimpin yang ada.
Jakarta (ANTARA) - "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."

Itulah pekik pidato presiden pertama RI Soekarno yang begitu terkenal, menggambarkan betapa dahsyat dan strategisnya peran pemuda dalam membangun bangsa dan negaranya.

Pun dalam berdemokrasi, kehadiran anak muda adalah cerminan regenerasi sebab tanpa generasi muda kehidupan berbangsa dan bernegara tak akan berarti.

Sebagai sarana berdemokrasi, sebentar lagi masyarakat akan menghadapi gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tanggal 9 Desember 2020 yang dilaksanakan serentak di 270 daerah.

Semua lapisan masyarakat diharapkan berpartisipasi, tidak terkecuali generasi muda. Apalagi, populasi pemuda tercatat lumayan besar, yakni mencapai 60 juta pemilih pada Pemilu 2019.

"Artinya, pemilih usia muda besar dan menjadi kelompok yang berpotensi memengaruhi atau menentukan pemimpin," ujar Desma Murni dari Change.org.

Berangkat dari itu, Change.org mengajak sejumlah elemen, yakni Warga Muda, Perludem, Golongan Hutan, dan Campaign melakukan jajak pendapat untuk mengukur antusiasme pemilih muda terhadap pilkada.

Jajak pendapat itu dilaksanakan dalam rentang waktu sebulan, mulai 12 Oktober hingga 10 November 2020, dengan jumlah 9.087 responden melalui sarana media sosial.

Mayoritas respondennya, atau sebesar 82 persen tentu anak muda dengan rentang usia 17—30 tahun yang tergolong sebagai pengguna aktif media sosial yang tersebar di 34 provinsi.

Profesinya respondennya beragam, mulai mahasiswa atau pelajar (48 persen), karyawan (27 persen), sisanya akademisi, dan lainnya, bahkan ada yang tidak bekerja (11 persen).


Antusiasme Pemilih Muda

Hasil jajak pendapat itu ternyata cukup mengejutkan, sebesar 27 persen antusias terhadap pilkada, 52 persen menyatakan biasa saja, dan 14 persen tidak antusias.

Komisaris Warga Muda Wildanshah mengingatkan bahwa secara persentase yang antusias memang lebih besar ketimbang yang tidak antusias. Akan tetapi, harus menjadi perhatian karena lebih besar yang mengaku biasa saja.

Mereka yang antusias memiliki berbagai alasan, yakni ingin daerahnya lebih maju (55 persen), ingin punya pemimpin yang lebih baik (26 persen), terpenuhi hak konstitusional (13 persen), mempertahankan pemimpin yang ada (2 persen), dan lainnya 1 persen.

Sementara itu, mereka yang tidak antusias juga memiliki alasan, yakni menilai terlalu berisiko karena masih situasi pandemi COVID-19 (44 persen), pilkada atau tidak sama saja (34 persen), dan tidak ada kandidat yang bagus sebesar 11 persen.

"Menariknya, ada yang alasannya males saja (4 persen), dan mereka yang pada hari itu ada aktivitas lain atau program yang ditawarkan paslon kurang menarik antara 1 dan 2 persen," ujarnya.

Secara pengetahuan, sebagian besar kalangan muda sebenarnya sudah tahu informasi akan adanya penyelenggaraan pilkada pada tanggal 9 Desember 2020, yakni sebesar 80 persen meski 14 persennya mengaku tidak tahu.

Namun, yang menjadi catatan tersendiri adalah dari aspek rekam jejak paslon sebab hanya 19 persen yang paham, sementara mereka yang tidak paham cukup besar 43 persen.

Yang menggembirakan, 3 dari 5 responden menyampaikan pentingnya anak muda menyuarakan aspirasinya melalui pilkada, kemudian 4 dari 5 responden menyampaikan pentingnya mengawal pemerintah setelah pilkada.

Demikian pula dari aspirasi politik, ada lima aksi yang dilakukan anak muda, yakni memastikan janji kampanye paslon dipenuhi (29 persen), memonitor berita atau bersuara di media sosial (24 persen), bersama organisasi atau komunitas mengawasi pembangunan (21 persen), hadir dan terlibat dalam penyusunan rencana pembangunan (10 persen), dan sisanya 8 persen mempercayakan saja kepada pemerintah.

Setidaknya, masih ada harapan bahwa masih ada sejumlah kalangan muda yang memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan proses demokrasi yang sehat dan berkualitas.


Pemilih Rasional

Antusiasme ternyata tak cukup, kalangan muda juga diharapkan menjadi pemilih yang rasional sehingga secara perlahan mampu meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Harapan terhadap generasi muda disampaikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra agar mereka mampu berperan aktif dan mau terlibat aktif dalam menyukseskan pilkada.

"Jadi, mereka memilih (pasangan calon) bukan karena saudara, bukan karena artis, atau karena orang-orang yang membayar dia. Mereka jadi pemilih rasional," ungkap Ilham.

Dilihat pula dari track record paslon apakah mereka pernah korupsi, pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau tindak pidana lainnya.

Pemilih-pemilih rasional semacam itu diharapkan lahir dari kalangan muda sehingga mereka bukan sekadar menggunakan hak pilihnya karena sudah berusia 17 tahun.

KPU selama ini juga sudah memberikan kesempatan bagi kalangan anak muda untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu dan pilkada dengan menjadikan mereka sebagai panitia penyelenggara.

Mulai membuka seleksi panitia pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang mengutamakan pendaftar dengan rentang usia 20—25 tahun.

Tujuannya, agar anak-anak muda sebagai agent of change mampu berpartisipasi aktif dalam mengawasi pemerintahan, termasuk penyelenggaraan pilkada.

Masa depan bangsa sejatinya terletak di tangan anak-anak muda sehingga penguatan generasi muda dalam berbagai aspek perlu dilakukan, termasuk kesadaran berdemokrasi.

Antusiasme generasi muda terhadap pesta demokrasi pun perlu dikuatkan, disertai penguatan wawasan, intelektual, dan keilmuan agar mereka menjadi pemilih yang rasional sekaligus cerdas.

Baca juga: Warga Muda: Antusiasme anak muda terhadap pilkada 27 persen

Baca juga: KPU: Anak muda berperan jadi pemilih rasional

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020