Jakarta (ANTARA) - Terlahir sebagai seniman multitalenta, Willy (panggilan kesayangan WS Rendra) malang melintang di dunia seni Indonesia lewat medium puisi dan dunia akting.

WS Rendra juga dikenal pernah bermain dalam beberapa judul film seperti "Al Kautsar" (1977), "Yang Muda Yang Bercinta" (1977), hingga "Terminal Cinta" (1977). Dia dijuluki Si Burung Merak karena selalu berhasil menampilkan puisi dengan indah, dan  berhasil mendirikan Bengkel Teater Rendra yang juga dikenal di dunia teater Indonesia.

Rendra terlahir dengan nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra pada 7 November 1935 di Solo. Ayahnya yang bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, dikenal sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di sebuah SMA Katolik di Solo. Sementara sang ibu yang bernama Raden Ayu Catharina merupakan seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Baca juga: "Panembahan Reso", karya WS Rendra yang tak lekang dimakan zaman

Baca juga: Garin: WS Rendra adalah "Burung Merak" anggun dan bebas


Tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang menggeluti seni dan budaya mempengaruhi Rendra sebagai seniman dengan karya-karyanya yang memberikan dampak bagi dunia seni Indonesia.

Kisah "Si Burung Merak" yang abadi

Minat menulis Rendra terhadap puisi sudah ada sejak ia duduk di kelas 2 SMP. Sajak-sajak karyanya telah dipublikasikan sejak tahun 1950-an di beberapa majalah, seperti Siasat, Kisah, dan Konfrontasi.

Pada masa SMA, Rendra juga pernah menulis drama untuk pementasan di sekolahnya. Drama pertama yang ditulisnya itu berjudul "Kaki Palsu". Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, Rendra berniat untuk melanjutkan pendidikan di Akademi Luar Negeri di Jakarta.

Namun sekolah itu telah ditutup sebelum Rendra tiba di Jakarta. Dia kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rendra sempat mendapatkan beasiswa untuk belajar drama dan seni dari America Academy of Dramatic Art (AADA) pada tahun 1964, menjadikannya orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan drama di AADA. Sepulangnya dari Amerika Serikat pada tahun 1968, Rendra kemudian mendirikan Bengkel Teater.

Rendra juga sempat mengajar Drama di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, yang saat itu dibantu oleh Arifin C. Noor sebagai asisten. Beberapa pementasan drama juga diwujudkan oleh Rendra baik sebagai pemain maupun penulis naskah pada masa itu. Kala itu dia sempat mementaskan dan menulis drama seperti; "Mahabarata", "Bip-Bop' (1968), "Menunggu Gadot" (1969), "Dunia Azwar" (1971), hingga "Mastodon dan Burung Kondor" (1972) yang kemudian menuai kontroversi.

Dalam dunia puisi, karya-karya populer Rendra antara lain kumpulan puisi "Balada Orang-orang Tercinta", "Blues Untuk Bonnie", "Sajak-sajak Sepatu Tua", "Nyanyian Orang Urakan", "Potret Pembangunan Dalam Puisi", "Sajak Sebatang Lisong" dan masih banyak yang lainnya untuk disebutkan. Kendati demikian, seorang kritikus sastra asal Negeri Kincir Angin, Andries Teeuw, dalam bukunya yang berjudul "Sastra Indonesia Modern II" (1989) menyatakan bahwa Rendra tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu angkatan atau kelompok sastra.

Meski demikian, beberapa karya Rendra juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Jerman, Jepang, Belanda, dan Hindi.

Tidak hanya dunia puisi dan teater, Rendra juga pernah bergabung dalam grup musik Kantata Takwa yang diisi oleh sejumlah nama besar dalam dunia musik, seperti Iwan Fals, Setiawan Djodi, Sawung Jabo, hingga Yockie Suryoprayogo.

Kisah lahirnya Kantata Takwa bermula dari kedekatan Rendra dan Setiawan Djodi yang telah lama menjadi donatur dalam Bengkel Teater. Dalam perjalanannya Kantata Takwa menjadi kelompok musik yang kerap membicarakan mengenai masalah sosial, politik, dan ekonomi dalam lagu-lagunya.

Salah satu yang paling diingat dari Kantata Takwa adalah konser mereka yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 23 Juni 1990 yang dipadati oleh ratusan ribu penonton. Menjadikannya salah satu konser terbesar yang pernah dilakukan oleh musisi Indonesia.

Baca juga: LBI beri penghargaan kepada W.S. Rendra

Baca juga: "Panembahan Reso" mahakarya WS Rendra akan dipentaskan kembali


WS Rendra menggedor orde baru

Berkesenian bagi Rendra bukan hanya sekadar menghibur rakyat, namun lebih jauh dari itu, seni adalah jembatan penyambung lidah rakyat terhadap penguasa.

Tak mengherankan puisi-puisi Rendra seperti "Sajak Sebatang Lisong", mengandung kritik sosial dalam merespon kegundahan rakyat. Kritikan dalam puisinya itu juga yang mengantarkan Rendra kepada dinginnya jeruji besi.

Film "Yang Muda Yang Bercinta" karya Sjumandjaja sempat dilarang tayang hanya karena ada salah satu adegan dimana Rendra membacakan "Sajak Sebatang Lisong". Dua puisi lainnya ternyata juga terdapat dalam film karya Sjumandjaja itu seperti "Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" dan "Sajak Pertemuan Mahasiswa".

Pemerintah orde baru saat itu memang dikenal sangat ketat melakukan sensor terhadap produk kesenian yang dianggap tidak sesuai dengan aturan pemerintah. Penangkapan hingga ancaman terhadap para seniman yang dalam tanda kutip berseberangan dengan pemerintah menjadi kabar yang sering didengar kala itu.

Hal ini juga yang pernah dialami oleh Rendra. Bermacam teror yang mengancam keselamatannya pernah ia temui. Melalui puisinya, Rendra kerap dianggap dapat merusak suasana ketertiban di ibu kota.

Stanley Yap dalam artikel "Intelijen, Sensor dan Negeri Kepatuhan" yang terhimpun dalam "Negara, Intel, Ketakutan dan Ketakutan" (2016) menuliskan pada bulan Mei tahun 1978, Rendra pernah ditahan oleh Laksusda Jaya.

Laksamana Sudomo yang menjabat sebagai Pangkopkamtib saat itu mengatakan penahanan Rendra dilakukan karena ia dianggap menghasut orang-orang dengan pembacaan puisinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Acara pembacaan puisi itu sendiri mendapat serangan berupa bom amoniak yang mengakibatkan tiga penonton pingsan. Rendra dibebaskan berselang lima bulan kemudian setelah mendapat banyak protes dari banyak pihak termasuk dunia internasional.

Rendra juga pernah ditangkap bersama Azwar AN dan Maradjani Hutasuhut oleh petugas Komando Garnisun ketika mengadakan tirakatan di Jalan Thamrin, Jakarta.

Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat oleh Hoegeng menyatakan bahwa penangkapan Rendra dan teman-temannya itu disinyalir karena acara tersebut ditunggangi oleh pihak ketiga. Akibatnya Rendra harus menginap di tahanan selama satu malam.

Pementasan teater Rendra juga kerap tidak mendapatkan izin dari pihak keamanan. Catatan Harian Kompas yang terbit pada 18 Oktober 1973 pernah memuat pembatalan pementasan karya WS Rendra. Seperti ketika ia akan mengadakan pementasan "Mastodon dan Burung Kondor" di Yogyakarta yang terpaksa dibatalkan.

Pihak kepolisian saat itu tidak memberikan izin karena Rendra dan Bengkel Teater mengadakan acara lewat tengah malam dengan jangka waktu lebih dari empat jam.

"Mastodon dan Burung Kondor" sendiri merupakan karya WS Rendra yang mengangkat tema mengenai konflik segitiga antara pihak militer, mahasiswa, dan seniman yang terdiri dari 21 bagian dengan mengambil lokasi atau latar tempat di suatu negara di Amerika Latin yang bernama Mastodon.

Pementasan lainnya yang berjudul "Oedipus Berpulang" juga tidak mendapatkan izin dari kepolisian. Pementasan drama yang diangkat dari karya Sophocles itu gagal dipentaskan karena dianggap naskah pementasannya tidak sesuai dengan terjemahan asli serta pertimbangan lainnya.

11 tahun yang lalu atau tepatnya pada 6 Agustus 2009, WS Rendra meninggal dunia. Dia dimakamkan di lokasi pemakaman keluarga di Bengkel Teater Seni WS Rendra yang berada di Cipayung.

Meski sosoknya telah lama berpulang, karya-karya Si Burung Merak masih tetap abadi dan tak kan pernah lekang oleh waktu.

Baca juga: Rizal Ramli ingin karya WS Rendra diabadikan dalam museum

Baca juga: "Mastodon" Rendra dipentaskan lagi di TIM

Baca juga: Monolog "Burung Merak" kenang perjuangan WS Rendra

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020