Denpasar (ANTARA) - Masa pandemi COVID-19 masih terus berlangsung, sudah hampir tiga bulan lamanya kita harus menjalani hari-hari dengan kebiasaan baru, bekerja dari rumah, rapat menggunakan media daring/online, menjaga jarak, mengurangi saling bertemu dan kontak fisik, menggunakan masker dan lebih sering mencuci tangan.

Tentu tidak semua orang dengan mudah mampu beradaptasi dengan hal ini, sebagian orang masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan bahkan tidak jarang dapat menimbulkan berbagai jenis keluhan mental, salah satunya gangguan cemas.

Gangguan kecemasan itu merupakan penolakan dalam proses penerimaan kebiasaan baru itu, karena proses beradaptasi juga tidak mudah. Apalagi, proses beradaptasi setiap orang juga berbeda-beda tergantung dari persepsi dan kemampuan individu untuk menerima situasi.

Selain menjaga kesehatan fisik, kita pun perlu mengelola kecemasan itu agar tidak memengaruhi kesehatan mental.

Jenis kecemasan yang rentan dialami dalam kondisi tidak pasti seperti sekarang, yaitu obsessive-compulsive disorder (OCD), gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan sosial, serta gangguan kecemasan perpisahan.

Gejala fisik yang tampak umumnya berupa jantung berdebar, napas pendek, sulit tidur atau menjaga tidur, waktu tidur kurang atau berlebih, mual, kembung, diare, kepala pusing atau terasa berat, kulit gatal, hingga otot tegang.

Namun, saat dilakukan pemeriksaan pendukung, seperti uji laboratorium, foto rontgen, hingga elektrokardiogram, tidak ditemukan kelainan apa pun di tubuh. Tanda fisik itu biasanya juga disertai perubahan kondisi kejiwaan.

Selain perasaan cemas, khawatir, dan panik berlebih, terkadang juga muncul ketakutan pada kematian, khawatir kehilangan kontrol diri, atau takut tidak mendapat pertolongan saat sakit.

Gangguan kecemasan harus dikendalikan agar tidak menimbulkan stres dan depresi yang akhirnya menurunkan kekebalan tubuh. Kita bisa mengurangi tekanan dan ketakutan dengan berlatih meditasi atau pun berdoa dan melakukan hal lainnya.

Baca juga: Dokter: Kecemasan akibat COVID-19 merupakan bentuk adaptasi normal

Baca juga: Psikolog: Berfikir sehat dan hindari kecemasan berandil melawan corona

Baca juga: Kurang konsumsi sayur sebabkan mudah cemas, benarkah?


Hal lain yang dimaksud, seperti menulis jurnal harian, berbicara atau berkomunikasi dengan seseorang yang dianggap mampu mendengarkan dan mengerti kecemasan kita. Juga, gantilah interaksi fisik dengan sosialisasi secara virtual, misalnya dengan menelepon atau melakukan telekonferensi.

Ini dapat menjadi alternatif cara menghilangkan kecemasan berlebihan dan mengurangi risiko depresi selama pandemi COVID-19 berlangsung. Yang juga penting adalah pastikan kamu tidak membuat virus corona menjadi dominasi topik yang kamu bahas bersama teman-teman kamu ya.

Penting untuk sejenak mengambil istirahat dari rasa stres di tengah situasi penuh ketidakpastian dengan menikmati kebersamaan satu sama lain untuk sekedar tertawa, berbagi cerita dan fokus pada hal-hal penting lain dalam hidup.

Pemberitaan mengenai penyakit virus vorona (COVID-19) yang terus menerus memapar seseorang juga memiliki dampak psikologis tersendiri bagi masyarakat, yang juga merupakan salah satu sumber stres. Banyak orang yang mengabaikan stres, padahal jika ditangani sejak dini stres dapat dikelola dan diatasi.

Stres yang berkepanjangan dapat menjadi penyebab munculnya berbagai penyakit degeneratif serta menurunnya imun/kekebalan pada tubuh yang berpotensi membuat seseorang menjadi mudah sakit.

Melakukan hobi yang selama ini tidak sempat dilakukan juga merupakan alternatif lain dalam mengurangi rasa cemas sehingga pikiran tidak hanya berfokus dan berputar-putar pada topik pemberitaan COVID-19 saja.

Hobi yang dimaksud misalnya bercocok tanam, membaca buku, favorit menulis blog maupun artikel, memasak, melukis atau hal hal lain yang tidak ada salahnya dapat dikembangkan menjadi lahan pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan pendapatan lain.

Menjaga kesehatan tubuh juga penting, seperti mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, berolahraga secara teratur, tidur cukup, serta hindari mengonsumsi alkohol untuk dapat mengurangi kecemasan selama pandemi COVID-19.

Jadi, kesehatan mental adalah kondisi yang baik tentang pikiran, perasaan, dan perilaku sehingga seseorang mampu untuk menjalani suatu situasi dan mengoptimalkan kapasitas diri yang dimiliki.

Untuk itu, kita harus berdamai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Ketakutan yang berlebihan hendaknya mulai dihilangkan. Kita harus tahu aturan-aturannya dari pemerintah. Misalnya boleh keluar rumah tapi harus pakai masker, hand sanitizer, jaga jarak dan jangan ngeyel/nekat, karena kita harus bertarung sama "musuh" yang tak kasat mata.

Kita tetap bisa terhubung dengan orang-orang terdekat, namun pertemuan tetap dilakukan secara daring bukan bertemu di restoran sebuah mal. Kita harus tetap melakukan komunikasi dengan keluarga, dengan teman, supaya menghilangkan kebosanan, kejenuhan, tapi dengan online. Melibatkan diri dalam kegiatan kegiatan sosial juga memberikan dampak yang positif bagi diri kita dan orang lain, namun harus menerapkan protokol kesehatan.

Untuk hidup berdampingan dengan virus COVID-19 diperlukan stamina dan imun yang baik. Oleh karenanya, olahraga penting dilakukan untuk menjaga badan tetap sehat, tapi juga jangan terlena dengan dibukanya tempat umum seperti mal, karena kehidupan belum sepenuhnya normal. Sabar.

Namun, jika seseorang merasa tidak mampu lagi, maka seharusnya dibawa ke yang lebih mampu seperti melakukan sesi konseling dengan ahlinya.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Normal baru mesti diikuti kepatuhan protokol COVID

*) Penulis adalah Psikolog Klinis Remaja Dewasa di "Denpasar Mental Health Centre", dan Psikolog Klinis & Hipnoterapis di RSUD Wangaya Kota Denpasar

Copyright © ANTARA 2020