Kami belajar dari kesalahan kami
Den Haag (ANTARA) - Nyaris sepanjang Ahad (16/2), hujan mengguyur Kota Den Haag dan sekitarnya. Tak hanya hujan, warga kota yang beraktivitas pada hari itu berulang kali diterpa angin kencang. Bagi warga Belanda, kondisi semacam itu adalah hal biasa.

Namun, tidak demikian halnya dengan sebagian warga negara asing yang sekadar berkunjung ke kota itu, terutama mereka yang baru pertama kali merasakan pengalaman berjalan di tengah cuaca ekstrem seperti itu.

Deru angin kencang akibat pengaruh Badai Dennis yang melanda sebagian wilayah Belanda, termasuk Den Haag, pada hari itu pula yang ikut dirasakan penulis bersama empat rekan sesama peserta Program Kunjungan Media dari Kemenlu Belanda.

Pada Ahad pagi yang basah dan berangin itu, bersama sejawat dari Kompas, Tempo, Jakarta Post, dan Media Indonesia, penulis menyusuri jalanan Den Haag untuk melihat lanskap kota yang menjadi pusat pemerintahan Belanda itu.

Sejak keluar dari Hotel Babylon, tempat penulis dan para jurnalis Indonesia lainnya menginap, dan berbelok ke arah Deng Haag Sentral,  kami  diterpa hujan dan angin kencang tak mereda.

Alih-alih mereda, hujan dan deru angin yang berhembus ke arah para pejalan kaki pada pagi itu terasa berat. Pengalaman berjalan menyusuri jalanan di pusat Kota Den Haag pada Ahad pagi itu berlanjut pada petang harinya.

Baca juga: Indonesia patut belajar dari Belanda atasi banjir
Baca juga: Pemprov DKI gandeng Belanda bangun infrastruktur maritim


Pada Ahad sore itu, penulis dan tujuh  jurnalis Indonesia lainnya berkesempatan mengunjungi Hoek van Holland untuk melihat dari dekat Maeslantkering, infrastruktur raksasa penghambat badai Laut Utara yang pembangunannya rampung pada 1997.

Di tempat itu, mereka bertemu Jeroen Kramer, juru bicara Het Kering Huis. Kramer sore itu banyak bercerita tentang eksistensi infrastruktur raksasa Maestlant dalam upaya preventif bencana banjir di Belanda.

Namun, Jeroen Kramer tak sekadar memberikan presentasi tayangan video maupun pemaparan di dalam ruangan gedung yang beralamat di Maeslantkeringweg 139, 3151 ZZ Heok van Holland itu.
Berdiri di tengah terpaan angin Laut Utara (16/2/2020) ((ANTARA/Rahmad Nasution))


Tak mau para tamunya sore itu hanya mendapatkan informasi, ayah dua anak ini pun mengajak para wartawan dari negeri tropis ini untuk keluar dari ruang kantornya menuju area terbatas berpagar tempat struktur baja Maeslantkering berada.

Deru angin Laut Utara terasa berdesing di telinga dan mendorong tubuh ke belakang saat berjalan mendekati perangkat baja bercat putih yang merupakan bagian dari mega-proyek infrastruktur delta untuk mengendalikan ancaman banjir di Belanda itu.

Menurut Kramer, pengaruh badai yang dirasakan para wartawan Indonesia bersama Monique Boon-Habets dan Birgit Oosterhuis dari RVO.nl serta Andri Astarisanna dari Kedubes Belanda di Jakarta yang turut dalam tur itu belumlah apa-apa.

Tak terbayang bagaimana kedahsyatan badai yang pada November 2007 dan awal 2018 sehingga sistem komputer di mega-infrastruktur Maeslatkering memutuskan untuk menutup dua lengan bajanya guna menghambat luapan air Laut Utara.

Sejak beroperasi, menurut Kramer, baru dua kali lengan baja Maeslantkering yang dibangun antara 1991 dan 1997 ini menutup secara otomatis untuk menghambat luapan air Laut Utara di saat badai dahsyat, yakni pada 9 November 2007 dan awal 2018.

Bagi bangsa Belanda, air merupakan "DNA" mereka, dan kehadiran sarana penghambat badai Laut Utara Maeslant ini membuat lebih dari dua juta jiwa penduduk Rotterdam dapat tidur nyenyak saat badai menerjang, katanya.

Menurut dia, setidaknya dalam 80 tahun mendatang, mega-proyek infrastruktur delta Maeslantkering ini masih dirasakan cukup untuk melindungi penduduk Rotterdam dan ekonomi kota pelabuhan penting yang berada di Holland Selatan itu.

Bencana banjir tahun 1953 yang menelan banyak korban jiwa dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di Belanda menjadi pengalaman pahit yang mengisi memori kolektif banyak orang dari lintas generasi di negara itu.

Bak pesan pepatah "pengalaman adalah guru terbaik", banjir yang dipicu oleh badai Laut Utara pada 31 Januari malam dan 1 Februari pagi 67 tahun silam itu meneguhkan tekad pemerintah dan rakyat Belanda untuk tidak lagi mengalami hal serupa.

Jeroen Kramer adalah satu di banyak warga Belanda yang menyimpan baik memori bencana banjir 1953 yang melanda sebagian besar wilayah Holland Selatan, Zeeland, dan Brabant Utara itu.

Beragam badai dahsyat dengan sebutan indah yang pernah menghantam Eropa seperti Badai Oratia Janika, Jeanett, Elizabeth, dan Tilo (Andrea) mengajarkan banyak bangsa, termasuk Belanda, untuk senantiasa bersiap menghadapi yang terburuk.

"Kami belajar dari kesalahan kami," kata Kramer kepada delapan jurnalis Indonesia yang pada Ahad sore itu berkesempatan bersama dirinya merasakan hempasan kuat angin Laut Utara.

Kendati badai seperti yang kerap dialami penduduk Belanda sejak lama tak dirasakan Indonesia, seperti halnya Belanda yang pernah merasakan pahitnya bencana banjir, banyak daerah di Tanah Air pun mengalami hal yang sama.

Bahkan, memasuki awal 2020, Jakarta dan sejumlah kota di sekitarnya dilanda banjir besar yang menelan korban jiwa dan harta benda yang tak sedikit.

Jika denyut mitigasi bencana Belanda begitu terlihat dari kehadiran 15 infrastruktur delta (Deltawerken) yang dibangunnya sejak 1958 untuk melindungi keselamatan lebih dari 17.2 juta jiwa rakyatnya dari ancaman banjir, bagaimana dengan Indonesia?

Baca juga: Cara Belanda selamatkan Jakarta
Baca juga: Indonesia-Belanda perkuat sinergi tanggul laut Jakarta

Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020