Jakarta (ANTARA) - Belum lama ini, surat kabar Malaysia yang berkiprah 80 tahun tutup akibat pailit. Koran Utusan Malaysia yang merupakan koran tertua berbahasa Melayu itu telah bertahun-tahun mengalami masa kritis, sampai akhirnya mengibarkan bendera putih.

Semua staf diberhentikan per 31 Oktober 2019, demikian memo Kepala Eksekutif Utusan Malaysia Abdul Aziz Sheikh Fadzir dilansir Reuters.

Sekitar 800 karyawan harus di-PHK. Tak sedikit dari mereka yang menangis seraya membawa barang-barang keluar dari gedung.

Baca juga: Iklan media massa menurun, Komisi Konsumen Australia serukan regulasi konten digital

Baca juga: Apa keunggulan beriklan di media digital?


Sebelumnya, Express --surat kabar gratis yang diterbitkan pada hari kerja oleh The Washington Post untuk pengguna Metro dan penumpang lainnya, harus mengakhiri perjalanan 16 tahunnya pada Kamis 12 September lalu.

Express pernah berjaya. Sekitar 190.000 koran dibagikan setiap pagi di stasiun Metro dan melalui kotak surat kabar. Saking populernya koran yang dirancang untuk bacaan cepat para penumpang Metro itu, ada wacana untuk diterbitkan edisi sore untuk perjalanan pulang.

Seiring berjalannya waktu, peredarannya justru menurun. Dan akhirnya keok. Perubahan teknologi dan kebiasaan manusia menggunakan smartphone selama perjalanan mereka, pada akhirnya membinasakan kertas cetak seperti Express.

"Hope you enjor your stinkin' phones" tulis Express besar-besar pada sampul depan di edisi finalnya.

Baca juga: Belanja iklan di media digital capai Rp9,3 triliun

Baca juga: Media sosial kini jadi wadah diplomasi secara digital


Di Indonesia, puluhan media cetak sudah gulung tikar. Di antaranya sudah memiliki nama besar. Sebut saja Tabloid BOLA yang harus berpamitan tahun lalu setelah 34 tahun mengawal dunia olahraga Indonesia.

Tabloid BOLA menyusul kepergian majalah Hai, Kawanku, GoGirl, dan The Rolling Stone yang mencoba peruntungan untuk banting setir di media online.

"Jurnalisme di seluruh dunia mengalami tantangan besar dalam 10-15 tahun terakhir akibat perubahan model ekonomi, transformasi teknologi, tumbuhnya sosial media, fake news, ketidakpercayaan masyarakat, dan permusuhan politik," ungkap President of Reporter Without Borders (RSF) Pierre Haski dalam pidatonya di KPF Journalism Conference 2019 yang digelar di Seoul, beberapa waktu lalu.

Di beberapa negara, jurnalisme bertahan, dengan jumlah yang berkurang. Menurut Pierre, media sedikit terlambat untuk bangkit. Kelengahan itu telah membuat media menjadi rentan.

"Untuk itu, kita mempertanyakan dasar-dasar jurnalisme, yang tetap valid dengan teknologi apa pun yang kita gunakan dan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan demokrasi," katanya.

KPF Journalism Conference 2019 yang digelar oleh Korea Press Foundation di Seoul, pada 24-25 Oktober lalu mengangkat tema besar tentang generasi muda, teknologi, dan strategi. Tiga hal tersebut masih menjadi tantangan media saat ini, akan tetapi di sisi lain bisa menjadi "penyelamat" media itu sendiri.

Sebanyak 24 pembicara yang datang dari media maupun universitas berbagai negara itu mengungkap fakta-fakta generasi muda dan transformasi teknologi yang, mau tidak mau, memaksa perubahan pada strategi media.

Baca juga: Mengurangi hoaks, pembatasan medsos atau literasi digital?

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019