Makassar (ANTARA) - Kekerasan terhadap tiga orang jurnalis di Makassar oleh aparat kepolisian mendapat kecaman dari Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel Hudzaifah Kadir.

Ketiga jurnalis tersebut adalah wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Sulsel Muh Darwin Fatir, wartawan Inikata.com Saiful dan wartawan Makassar today.com Ishak Pasabuan. Ketiganya mendapat tindakan represif aparat kepolisian saat meliput aksi mahasiswa yang menolak pengesahan UU KPK dan Revisi KUH-Pidana di depan Gedung DPRD Sulsel Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Selasa.

Baca juga: LBH Pers: Kapolda Sulsel usut tuntas pelaku kekerasan wartawan

"Ketiganya mendapat perlakukan fisik dari aparat kepolisian saat menjalankan kerja-kerja jurnalistik dalam meliput aksi di lokasi tersebut," kata Hudzaifah.

Darwin dikeroyok oleh polisi di depan kantor DPRD Sulsel.

Baca juga: Wartawan ANTARA jadi korban kekerasan aparat saat liput demo

Sebagai kronologis kejadian, Darwin ditarik, ditendang dan dihantam menggunakan pentungan di tengah-tengah kerumunan polisi. Padahal dalam menjalankan tugas jurnalistiknya Darwin telah dilengkapi dengan atribut dan identitas jurnalis berupa ID Card ANTARA.

Rekaman video/foto membuktikan tindakan bar-bar aparat kepolisian terhadap Darwin. Sejumlah rekan jurnalis yang saat itu berusaha melerai tindakan kepolisian terhadap Darwin sama sekali tidak diindahkan.
​​
Polisi bersenjata lengkap tetap menyeret dan menghajar habis-habisan Darwin.

Kondisi mulai meredah saat Darwin dibawa oleh rekan-rekan jurnalis lainnya sedikit menjauh dari lokasi pengeroyokan. Darwin menderita luka sobek pada bagian kepala dan bibirnya. Sedang dada dan perutnya masih nyeri akibat tendangan sepatu lars petugas.

Pada saat yang sama, Saiful juga mendapatkan perlakuan serupa. Saiful dipukul dengan pentungan dan kepalan di bagian wajahnya oleh oknum polisi.

Kejadian yang sama persis saat dia meliput aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat di Jalan Urip Sumiharjo. Tepat di depan Warkop flyover, lokasi penganiayaan terjadi.

Kemarahan polisi dipicu saat mengetahui Saiful hendak mengambil gambar saat polisi memukul mundur para demonstran dengan gas air mata dan water canon.

Saiful telah memperlihatkan identitas lengkapnya sebagai seorang jurnalis yang sementara menjalankan tugas jurnalistik, akibatnya Saiful menderita luka lebam, di mata kiri dan kanan akibat hantaman benda tumpul kepolisian. Sebab penganiayaan yang dialami Saiful sama persis dengan Ishak.

Dia juga dilarang mengambil gambar saat polisi terlibat bentrok dengan demonstran. Ishak dihantam benda tumpul polisi di bagian kepalanya. Ketiga korban kemudian dilarikan ke RS Awal Bross.

Menyikapi ketiga kasus ini, IJTI Sulsel mengutuk keras tindakan tersebut dan sangat menyesalkan sikap oknum polisi yang melakukan kekerasan disertai pemukulan

"Intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum," tegasnya.

UU Pers itu juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 UU Pers menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

IJTI Sulsel juga mendesak dan meminta kepolisian memproses tindakan kekerasan tersebut. Sikap tegas dari penegak hukum diharapkan agar peristiwa serupa tidak terulang.

Atas intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis tersebut, IJTI Sulsel menyerukan dan mengeluarkan empat poin pernyataan sikap.

Pertama, mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap tiga jurnalis yang melakukan kerja-kerja jurnalistik/peliputan di Gedung DPRD Sulsel.

Kedua, mendesak Kapolda Sulsel memproses tindakan kerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan hukuman seberat-beratnya agar ada efek jera, sehingga kasus serupa tak terulang di masa mendatang.

Ketiga, mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya. Sebab, hingga kini belum ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tuntas sampai ke pengadilan.

Keempat, mengimbau masyarakat agar tidak melakukan intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang liputan atau karena pemberitaan.
Suasana tindakan represif oknum aparat kepolisian pada wartawan LKBN ANTARA Muh Darwin Fatir disela peliputan aksi unjuk rasa mahasiswa di depan DPRD Sulsel, Selasa (24/9/2019). (Dok)


 

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019