Jakarta (ANTARA) - Terorisme merupakan aksi keji yang dikutuk masyarakat di seluruh penjuru dunia. Hampir seluruh negara pernah menjadi sasaran aksi teroris, tak terkecuali Indonesia.

Aksi brutal yang menyasar korban tak berdosa itu bisa berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa kali, serentetan aksi teror menodai keramahan dan kesantunan budaya masyarakat Indonesia yang dikenal dunia.

Sebut saja, bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, serta melukai ratusan orang dari berbagai negara yang tengah berlibur di Pulau Dewata.

Masih di Pulau Bali, aksi bom bunuh diri kembali terjadi pada 1 Oktober 2005 yang menewaskan sedikitnya 23 orang dan ratusan orang luka-luka, dikenal dengan Bom Bali II.

Serangan teroris juga terjadi di Ibu Kota, di antaranya ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juli 2009 yang kembali menelan korban jiwa.

Teror bom masih saja terjadi, setidaknya tiga gereja di Surabaya menjadi sasaran bom bunuh diri pada 13 Mei 2018 yang pelakunya satu keluarga, dan serentetan aksi terorisme lain.
 
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kiri) melakukan salam komando dengan Komandan Komando Operasi Khusus (Koopsus) Brigjen TNI Rochadi, di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta. (Zuhdiar Laeis)


Bicara tentang kemampuan anti teror, TNI sudah mengenal dan menerapkan kualifikasi itu sejak lama dan membentuk beberapa pasukan khusus. Reputasi mereka masing-masing bukan hal asing diketahui oleh bangsa Indonesia ataupun manca negara. 

Juga baca: TNI miliki Komando Operasi Khusus

Juga baca: Ketua DPR dukung pengaktifan Koopssusgab berantas terorisme

1. Satuan 81 Komando Pasukan Khusus TNI AD
Pasukan elite ini bernaung di bawah matra TNI Angkatan Darat. Siapa tak kenal Komando Pasukan Khusus TNI AD? Ya, Satuan 81 ini merupakan bagian dari Komando Pasukan Khusus TNI AD yang berisikan prajurit-prajurit pilihan.

Sebagaimana diunduh dari laman Staf Personel TNI (http://spers-tni.mil.id) Satuan 81 dibentuk setelah peristiwa pembajakan pesawat terbang DC-8 PT Garuda Indonesia bernama julukan Woyla di Bandara Internasional Don Mueang, Bangkok, akhir Maret 1981.

Pasukan elite satu ini memiliki kemampuan kontra-intelijen yang spesial, dan memiliki beberapa tugas, yakni melaksanakan aksi dengan cepat mendesak, pengambilan putusan, dan daya tempur yang tinggi dalam menyelesaikan sasaran. Mereka, saat itu, terdiri dari beberapa batalion, yaitu Batalion 811, Batalion 812, dan Batalion Bantuan. 

Kemudian, Batalion 812/antibajak pesawat yang melaksanakan operasi pembebasan sandera di pesawat terbang, dan Batalion Bantuan yang pantang menyerah menghadapi tugas yang berisiko tinggi.

Luhut Pandjaitan dan Prabowo Soebianto tercatat sebagai komandan dan wakil komandan pertama Satuan 81 ini. Bahkan, mereka sampai dikirim ke Jerman untuk menjalani spesialisasi antiteror.

Dari laman Kopassus (https://kopassus.mil.id) disebutkan, pasukan elite yang bermarkas di Cijantung, Jakarta Timur, ini mampu melaksanakan operasi antiteror dari berbagai objek, seperti gedung, bus, kapal, kereta api, hingga pesawat udara, baik di daerah sendirl maupun daerah Iawan.

Operasi penghancuran dan operasi penjinakan bahan peledak merupakan salah satu ciri khas Satuan 81 Komando Pasukan Khusus TNI AD yang personelnya terus menerus menempa diri dengan latihan-latihan.

Saat ini, Komandan Satuan 81 Komando Pasukan Khusus TNI AD dijabat oleh Kolonel Infantri Yudha Airlangga. Perwira menengah ini juga yang dipercaya mengomandani upacara pemakaman Ibu Negara Ani Yudhoyono.

2. Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL
Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL merupakan satuan penanggulangan teror aspek laut yang dibina TNI AL. Mereka adalah gabungan dari Komando Pasukan Katak TNI AL dan Batalion Intai Amfibi Korps Marinir TNI AL.

Dari laman resmi Marinir TNI AL (https://marinir.tnial.mil.id), disebutkan, sejarah Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL diawali pembentukan Pasukan Khusus Angkatan Laut  sesuai surat keputusan Kepala Staf TNI AL Nomor Skep/2848/XI/1982 tertanggal 4 November 1982. 

Pembentukan Pasukan Khusus Angkatan Laut didorong kebutuhan mendesak akan adanya pasukan khusus TNI AL guna menanggulangi segala bentuk ancaman keamanan aspek laut pada khususnya, seperti ancaman terorisme sabotase, serta ancaman lain yang berdampak strategis.

Apalagi, diiringi semakin meningkatnya bentuk teror yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Seiring perkembangan, berdasarkan instruksi panglima ABRI kepada komandan Korps Marinir TNI AL dengan nomor Ins/01/P/IV/1984 pada 13 November 1984, kepala staf TNI AL melalui suratnya kepada panglima ABRI mengusulkan pembentukan Detasemen Jalamangkara. Berbeda dengan kedua pasukan khusus lain dari matra TNI AD dan TNI AU, nama dan kekuatan satuan ini tetap ada di tingkat detasemen. 

Atas dasar surat kepala staf TNI AL itu, panglima ABRI menyetujui pembentukan Detasemen Jalamangkara dengan Surat Persetujuan bernomor R/39/08/9/2/SPN. Sejak itu, Detasemen Jalamangkara resmi menjadi satuan antiteror aspek laut dengan pembinaan kemampuan berada di bawah TNI AL, namun dalam keseharian, pembinaan langsung mereka ada di dalam lingkup Korps Marinir TNI AL. 

Dari laman itu, dinyatakan tugas pokok Detasmenen Jalamangkara adalah membina kemampuan anti teror anti sabotase di laut dan daerah pantai, serta kemampuan "klandestein" aspek laut lain.

Berdasarkan ketetapan panglima TNI, komposisi organisasi Detasemen Jalamangkara terdiri dari satu markas detasemen, satu tim markas, satu tim teknik, dan tiga tempur sebagai unsur pelaksana di bawahnya.

Sebagai pasukan khusus bermatra laut, Detasemen Jalamangkara mempunyai kekhasan tersendiri dibandingkan satuan-satuan lainnya yang setingkat, antara lain memiliki tuntutan dalam kesiapan operasional yang sangat tinggi, dengan mobilitas, kecepatan, kerahasiaan, dan pendadakan yang tinggi.

Medan tugas atau operasinya secara khusus berupa kapal-kapal, instalasi lepas pantai, dan daerah pantai.

Dengan kekhasannya itu, operasionalisasi, pendidikan-latihan, peralatan, hingga aspek lain Detasemen Jalamangkara disusun disesuaikan dengan media yang diperlukan untuk sasaran yang dituju, yaitu atas permukaan, bawah permukaan, dan vertikal dari udara.

Detasemen Jalamangkara dipimpin oleh komandan berpangkat kolonel dalam pelaksanaan pembinaan, dan bertanggung jawab kepada komandan Korps Marinir TNI AL. Saat ini komandan Detasemen Jalamangkara dijabat  Kolonel (Marinir) Nanang Saefulloh.

3. Satuan Bravo 90 Pasukan Khas TNI AU
Satuan Bravo 90 Korps Pasukan Khas TNI AU merupakan satuan khusus penanggulangan teror milik pasukan elite milik matra TNI AU. Dibentuk pada periode 1990, pasukan ini memiliki spesifikasi khusus. 

Tugasnya, melaksanakan operasi intelijen, melumpuhkan alutsista/instalasi musuh dalam mendukung operasi udara, dan penindakan teror bajak udara, serta operasi lain sesuai kebijakan Panglima TNI.

Diunduh dari laman resmi Komando Korps Pasukan Khas TNI AU (https://paskhas.mil.id), Satuan Bravo 90 Korps Pasukan Khas TNI AU lahir pada era kepemimpinan Marsekal Pertama TNI Maman Suparman, komandan Pusat Pasukan Khas TNI AU, periode 1990.

Kata Bravo berarti "yang terbaik", berasal dari bahasa Slavia, didapat Marsekal Pertama TNI Budhy Santoso (saat itu direktur operasi Pusat Pasukan Khas TNI AU) ketika belajar Total Defence and Protection di Yugoslavia.

Verlo dobro atau unusually excellent atau bravo. Ucapan tersebut disampaikan Jenderal Ismailnovich kepada siswa yang dinilai telah bersungguh-sungguh belajar dan lulus terbaik.

Sedangkan angka 90 menjadi tanda tahun peresmianpembentukan Bravo oleh Komandan Pusat Pasukan Khas TNI AU, Marsekal Pertama TNI Suparman, di ruang rapat Markas Pusat Pasukan Khas TNI AU, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Kabupaten Bandung.

Prajurit cikal-bakal Bravo dititikberatkan untuk berlatih secara sangat intens, meliputi kemampuan bela diri karate, menembak, latihan fisik, mental dan bahasa Inggris.

Program yang disusun sangat ketat dimaksudkan untuk mencapai sasaran tahap pertama mencakup kualifikasi yang ditentukan, yakni dan satu karateka, petembak mahir kelas satu, memiliki fisik dan mental tangguh, dan aktif berbahasa Inggris.

Kualifikasi komando dan terjun bebas merupakan kemampuan dasar prajurit Bravo, yang telah diperoleh sebelum seleksi.

Ramuan dari latihan dan pembelajaran tersebut, dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan Bravo lebih lanjut, yaitu menyerap keterampilan maupun pengetahuan keudaraan. Adapun Komandan Satuan Bravo Korps Pasukan Khas TNI AU adalah Kolonel Pasukan Nana Setiawan. 

Sejak hari ini, secara resmi dibentuk Komando Operasi Khusus TNI, yang semula bernama Komando Operasi Khusus Gabungan TNI. Organ baru di tubuh TNI ini bukanlah organ yang membentuk pasukan khusus secara benar-benar baru sebagaimana kerap disangka sebagian publik, melainkan "penyatuan" berdasarkan penugasan dalam jangka waktu tertentu terhadap personel-personel dari ketiga pasukan elit dari tiga matra TNI itu. 

Cikal-bakal Komando Pasukan Khusus TNI ini terjadi pada 2014-2015, saat Panglima TNI saat itu, Jenderal TNI Moeldoko, membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan TNI. Kajian demi kajian terus menerus dilakukan dan konsep senantiasa dimatangkan. 

Pada saat pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan TNI empat tahun lalu, pasukan gabungan itu diberi pelatihan dan pembinaan untuk dapat menyusun doktrin dan pemetaan terorisme, sehingga ketika ancaman teror muncul dapat diterjunkan dengan cepat.

Mereka saat itu disiagakan di wilayah Sentul, Jawa Barat, untuk berlatih dengan status operasi, sehingga bisa setiap saat diterjunkan dalam proses penanggulangan antiteror.

Namun Moeldoko mengatakan pasukan gabungan tersebut sudah dibekukan sehingga perlu persetujuan Presiden Joko Widodo untuk menghidupkan kembali.
 
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memeriksa kesiapan pasukan saat peresmian Komando Operasi Khusus (Koopsus), di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta. (Zuhdiar Laeis)


Pasukan gabungan itu diresmikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pada 30 Juli 2019 dalam suatu upacara militer di Lapangan Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Adapun Brigadir Jenderal TNI Rochadi dilantik sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus TNI, satuan elit baru gabungan dari tiga matra yang berisi prajurit pilihan untuk penanggulangan terorisme.

"Sama, itu yang dibentuk Jenderal Moeldoko sebetulnya adalah kelanjutan. Pada waktu itu, belum ada UU-nya, sekarang sudah ada UU, (ada) Perpresnya," kata Tjahjanto.

Kali ini, payung regulasi disiapkan mendasari pembentukan Komando Pasukan Khusus TNI, utamanya beberapa aturan hukum terkait tugas pokok TNI, yakni UU Nomor 5/2018.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 42/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 10/2010 tentang Susunan Organisasi TNI. Secara tegas, UU itu mengatur bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer, selain perang.

Dari kekuatan personel, Komando Operasi Khusus TNI beranggotakan inti satu kompi, sementara jika ditotal dengan seluruh pendukung, termasuk pengamatan untuk peran intelijen berjumlah 400 orang.

Secara struktural, Komando Operasi Khusus TNI dibentuk dalam satu wadah Badan Pelaksana Pusat, yang memiliki jalur komando langsung di bawah panglima TNI yang sewaktu-waktu bisa ditugaskan atas perintah presiden.

Fungsi Komando Pasukan Khusus TNI adalah penangkal, penindak, dan pemulih. Sebesar 80 persen peran akan difokuskan pada penangkal terorisme, melalui pengamatan atau observasi jarak dekat, sisanya 20 persen baru penindakan.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019