Jakarta (ANTARA) - Dengan pisau besar, Oman dengan tangkas mengikis bagian samping tulang-tulang kaki sapi, kulit-kulit dengan lapisan bulu yang cukup tebal pun terlepas.

Berselang beberapa menit, tumpukan kulit itu mulai bertambah dan kemudian dimasukkan ke sebuah kantong plastik hitam.

"Lumayan banyak kalau kulit sapi, karena di kaki sapi bagian yang ada bulunya kan kita tidak butuh dan hanya tulang saja yang nanti kita jual," ungkap pedagang daging sapi di Pasar Jatinegara itu ketika ditemui pada Jumat.

Kulit-kulit sapi itu adalah bagian dari limbah yang dihasilkan oleh para pedagang daging sapi.

Meski Oman mengaku tidak mengetahui total berat dari limbah kulit sapi yang dihasilkan per harinya, namun dalam sehari dia dapat mengumpulkan dua kantong plastik berukuran sedang berisi kulit sapi.

"Sehari kira-kira dua kantong kalau lagi banyak. Kulit sapi di kaki kan sebenarnya tidak terlalu banyak, jadi hanya terkumpul segitu kalau sudah banyak saja," ujarnya.

Oman bukan satu-satunya pedagang daging sapi yang mengumpulkan limbah kulit sapi. Mamat yang berjualan tidak jauh dari kios Oman juga mengumpulkan tidak hanya kulit sapi tapi juga tulang dan bantalan kakinya.

"Saya jualan sumsum dan itu harus dikeluarkan dari tulang kaki. Setelah dikeluarkan sisa tulangnya ya dibuang, biasanya dikumpulkan dalam satu kantong plastik sama bantalan kakinya," ungkap Mamat.

Menurut Mamat, limbah dan sampah yang dihasilkan oleh penjualan daging sapi tergolong lebih sedikit dibandingkan ayam. Tapi bukan berarti jumlahnya bisa disepelekan.

"Memang tidak sebanyak ayam, karena kalau pemotongan ayam kan harus mencabut bulu dan sejenisnya, tapi kalau sapi itu sebenarnya kebanyakan bisa diolah makanya yang dibuang sebenarnya tidak terlalu banyak bagiannya tapi sebenarnya lumayan juga jika dikumpulkan," ungkapnya.

Pedagang yang sudah menjajakan daging sapi sejak 1990-an itu mengaku, limbah daging sapi yang dikumpulkan bersama pedagang lainnya dikumpulkan satu titik di dekat pintu keluar, yang kemudian akan diambil oleh penadah.

Biasanya seminggu sekali datang orangnya, datangnya sore. "Dia yang ambil semua kantong itu,” ungkap Mamat.

Mamat mengaku tidak mengetahui secara pasti untuk apa limbah-limbah penjualan sapi itu akan digunakan. Tapi dia mendengar beberapa bagian tulang bisa dimanfaatkan untuk membuat perkakas.

“Tidak tahu sih dia ambil buat apa. Kalau kulit sapi ada bulunya, dia pakai untuk apa saya juga tidak tahu. Tapi kalau tulang saya pernah dengar bisa dibuat salah satu bahan piring atau kancing kalau dihancurkan halus,” ungkapnya.

Baca juga: Nabung sampah di Kecamatan Koja bisa liburan ke luar negeri
Baca juga: Delapan daerah dapat dana bantuan atasi sampah Citarum


Pemilahan
Berbeda dengan cerita Hendra, pedagang sayur-mayur di pasar yang dikenal juga dengan nama Mester itu. Dia mengaku sebisa mungkin tidak menyisakan jualannya dan hanya membuangnya jika busuk.

“Saya tahu ada sampah organik. Tapi kalau sayur, sebisa mungkin dijual habis dan tidak disisakan. Tapi pernah, saat harga tomat naik, saya sudah beli banyak dari Kramat Jati, sampai busuk. Ada yang minta, katanya bisa dibuat jadi pupuk,” ungkapnya.

PD Pasar Jaya sendiri sudah melaksanakan kebijakan pemilahan sampah ketika melakukan pembersihan di Pasar Jatinegara, dengan memilah sampah organik dan anorganik.

“Sudah ada instruksi sebisa mungkin memisahkan sampah organik dengan yang tidak organik. Kalau kebanyakan yang organik itu biasa di los basah sih, yang jualan sayur, kalau kebijakan di los daging mungkin beda lagi,” ungkap salah satu petugas kebersihan di Pasar Jatinegara yang mengaku bernama Herman.

Namun pedagang mengaku masalah pemilahan sampah tidak menjadi fokus ketika membuang sampah di pasar tersebut.

"Kalau kita mungkin karena jarang yang dibuang, tapi memang belum terbiasa memisahkan organik sama yang tidak. Mungkin sebelumnya ada imbauan dari Pasar Jaya," ujar Mamat ketika ditanya soal kebiasaan memisahkan sampah di pasar itu.

Baca juga: Siasat bank sampah Kemayoran gerakkan warga memilah sampah
Baca juga: Pemkot Jakarta Utara sosialisasikan bank sampah tekan jumlah sampah


Pengelolaan Sampah
Permasalahan sampah bukanlah hal yang baru di Indonesia. Seiring bertambahnya jumlah populasi maka meningkat pula persentase sampah yang dihasilkan per tahunnya.

Menurut data yang dirangkum oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) dan Kementerian Perindustrian, pada 2016 jumlah timbulan sampah di Indonesia sudah mencapai 65,2 juta ton per tahun.

Peningkatan jumlah penduduk, terutama di daerah perkotaan, juga ikut menyumbang kenaikan produksi sampah dan limbah per orang. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada 2025 setiap orang akan menghasilkan sekitar 1,42 kilogram sampah kota per hari atau 2,2 miliar ton per tahun, dibandingkan 1,2 kg per orang per hari pada 2012.

Dalam produksi sampah di Indonesia, Pulau Jawa menjadi penyumbang terbanyak dengan Surabaya menghasilkan 9.896,78 meter kubik per hari dan Jakarta menghasilkan sampah sebanyak 7.164,53 meter kubik pada 2017.

Di luar Pulau Jawa, antara lain Makassar menghasilkan 6.485,65 meter kubik per hari selanjutnya Denpasar 3.657,20 meter kubik, Manado 2.064,00 meter kubik, dan Medan 1.892,00 meter kubik per hari, menurut data BPS.

Akibatnya, pengelolaan sampah organik dan pencegahan sampah anorganik kini menjadi salah satu hal penting yang harus dilakukan untuk menjaga agar setidaknya tidak terjadi penumpukan sampah. Apalagi di daerah ramai pengunjung dengan potensi limbah organik dan anorganik seperti pasar.

Bank sampah merupakan salah satu solusi dalam pengelolaan sampah. Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta per Maret 2019, hal itu sudah diimplementasikan di DKI Jakarta yang mencatat keberadaan sekitar 1.400 bank sampah yang tersebar di seluruh ibu kota, .

Dalam tingkat pusat, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang di dalamnya sudah berbicara soal pemilahan dan pengelompokkan jenis sampah serta pengumpulan dan pemindahannya ke tempat pengolahan sampah terpadu, hingga pemrosesan akhir pengembaliannya ke lingkungan secara aman.

Langkah terbaru pemerintah, yakni bertekad mengurangi produksi sampah anorganik dengan memberlakukan cukai plastik untuk kantong belanja atau yang dikenal sebagai kantong kresek.

Menurut Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Nasrudin Joko Surjono, potensi penerimaan cukai itu adalah sebesar Rp500 miliar. Namun, menurut dia tujuan akhirnya bukanlah untuk menaikkan penerimaan negara.

Ini sebagai kontribusi bahwa dari sisi Kementerian Keuangan, bukan dalam sisi untuk menaikkan penerimaan, tetapi sebagai instrumen untuk mengendalikan kantong plastik.
Baca juga: Sisa makanan bisa ditukar dengan rupiah di bank sampah Kemayoran
Baca juga: KLHK : bank sampah bisa mati tanpa koneksi


Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019