Jakarta (ANTARA News) - Chun Doo Hwan adalah presiden Korea Selatan (Korsel) dari 1980 sampai 1988, sedangkan Augusto Pinochet adalah pemimpin junta yang memerintah Chile dari 1973 sampai 1990. Keduanya senang menggunakan kekerasaan untuk menekan kelompok oposisi dan sangat fobia komunis serta gerakan-gerakan kiri. Keduanya jenderal angkatan darat yang telengas namun piawai mengelola pemerintahan yang efektif. Mereka merebut kekuasaan dengan menumpahkan darah rakyat dan mempertahankannya dengan meneror lawan-lawan politiknya. Keduanya akan menempuh langkah apa pun demi stabilitas politik dan ketenangan sistem perekonomian dalam berproduksi, dari memberlakukan darurat militer, memberangus media massa, menyumbat semua oposisi, sampai memburu segala gerakan sempalan yang dinilai memecah-belah bangsa. Pinochet dikenal tak sungkan-sungkan memerintahkan aparat keamanan untuk mengeksekusi mati rakyatnya sendiri. "Tentara diperkirakan telah membunuh 11.000 warga Chile sepanjang tahun pertama kekuasaan Pinochet," klaim Gunson, Thompson dan Chamberlain dalam buku mereka "The Dictionary of Contemporary Politics of South America." Chun Doo Hwan "sami mawon". Di tahun pertama kekuasaannya ia juga berbuat lalim, di antaranya lewat kampanye keamanan anti demonstrasi mahasiswa di Gwangju pada 1980 yang dikenal dengan "Pembantaian Gwangju." "Laporan resmi menyebutkan, 200 orang tewas dalam insiden itu sedangkan seribu lainnya luka-luka. Namun, beberapa sumber menyebut korban tewas mencapai seribu hingga dua orang," kutip BBC dalam salah satu siarannya. Tapi, baik Chun maupun Pinochet juga dipuja rakyat dan dipuji Barat karena mengantarkan negara ke puncak pencapaian ekonomi mengesankan. IMF bahkan menggantangnya ke lima penjuru benua sebagai contoh sukses pengelolaan ekonomi yang benar. Keajaiban Pinochet yang penggemar fanatik mantan presiden RI Soeharto, meniru idolanya dalam mengelola negara seperti saat Soeharto membentuk tim ekonomi beranggotakan para teknokrat ulung didikan Amerika Serikat. Ketika Soeharto merekrut para ekonom lulusan Universitas California di Berkeley, maka Pinochet mengajak ekonom-ekonom jebolan Universitas Chicago untuk mengorkestrai simfoni perekonomian Chile baru gubahannya. Di Indonesia tim ekonom ini dipelesetkan dengan sebutan "Mafia Berkeley", sedangkan di Chile dikenal dengan "The Chicago Boys". Mentor agung "Anak-anak Chicago" ini adalah pakar ekonomi moneter terkemuka AS yang juga Peraih Nobel, Profesor Milton Friedman. Tak berapa lama, perekonomian Chile mencapai titik tersukses dalam sejarah. "Chile adalah perekonomian yang ajaib," kata Milton Friedman dalam Newsweek edisi Januari 1982. Dari Profesor Milton inilah Chile populer disebut "The Miracle of Chile". Di paruh pertama masa kekuasaannya, ekonomi Chile tumbuh pesat namun pada 1982 sempat berantakan dihantam krisis tetapi ini tak berketerusan setelah Pinochet menunjuk ekonom Hernan Buchi menjadi Menteri Keuangan. Buchi melancarkan program reformasi ekonomi dengan mengambangkan nilai tukar peso, mengendalikan lalulintas modal, menata kembali sistem perbankan, menawari pengusaha insentif pajak yang besarannya telah dipangkas, dan menggalakkan lagi swastanisasi guna menggalang modal swasta demi bangkitnya lagi ekonomi Chile. Hasilnya, inflasi turun drastis dari seribu persen menjadi hanya sepuluh persen, produktivitas nasional mengencang hingga Produk Domestik Bruto tumbuh 5,9 persen pada 1990 atau tercepat di seantero benua Amerika. Sementara di Korsel, penampilan ekonomi mengesankan ditunjukkan rezim Chun Doo Hwan. Selama pemerintahannya, industrisasi dipacu sehingga postur ekonomi Korsel membesar cengkeramannya melintasi batas-batas nasional Korsel sehingga Jepang pun khawatir dibuatnya. Tapi Chun membunuh serikat pekerja karena dianggap menghambat produktivitas ekonomi, sebaliknya konglomerat atau "chaebol" yang sebagian besar kroni Chun dikembangbiakkan dan didorong menjadi ujung tombak industrisasi ekonomi Korsel sekaligus ujung tombak dalam memenangkan kompetisi ekonomi global. Hasilnya, Korsel dinobatkan sebagai negara industri baru dunia (NICs) bersama dengan Singapura dan Taiwan yang juga diperintah para penguasa otoriter. Mereka hanya berada selangkah di belakang Jepang dan negara G-7 lain. Ironisnya di pentas politik, Chun berbuat zalim dengan menjebloskan tokoh oposisi ke penjara dan mengurungnya selama beberapa tahun di sana dan menghadapi demonstrasi mahasiswa kiri dengan senjata hingga akhirnya memunculkan insiden "Pembantaian Gwangju" yang menjadi noda abadi dalam prestasi gemilangnya dalam ekonomi dan stabilitas politik. Keadilan Chun dan Pinochet lalu tumbang oleh gerakan demokratisasi, tapi sebagian besar rakyat tetap mengakui jasa para tiran ini karena telah membuat negara makmur dan tahan dari guncangan politik. Namun apresiasi ini tak mendorong rakyat menganggap mereka sebagai malaikat yang hanya kenal berbuat baik sehingga segala keburukan yang dipraktikan penguasa masa lalu kebal dari tuntutan hukum. Di Chile, sistem peradilan tetap menuntut Pinochet meski banyak warga Chile yang umumnya Katolik saleh bersedia memaafkannya, sedangkan di Korsel bagian terbesar rakyat tak ingin memendam lama dendam dan bencinya pada Chun. Namun, baik rakyat Chile dan Korsel sadar bahwa mereka tidak seragam karena ada bagian dari mereka yang kiri, kanan, tengah, moderat, radikal, makmur, teraniaya, yang menikmati, dan yang menjadi korban. Manakala ada bagian masyarakat yang berusaha menuntut keadilan karena merasa menjadi korban dari praktik lalim kekuasaan, rakyat tak apriori menutupinya dengan ekspos segala kebaikan yang telah dicapai penguasa yang dituntut untuk diadili itu. Bagi mereka, siapa pun yang merasa menjadi korban kebijakan penguasa mempunyai hak untuk diuji oleh sistem hukum yang berlaku. Tak heran, rakyat kedua negara ini seolah merasa wajib menghormati bagian dari mereka yang merasa menjadi korban kekuasaan ini, setidaknya menjadi saksi apakah benar bagian bagian masyarakat itu telah dizalimi penguasa. Mereka tak mencari kejelasan perkara hukum dari asumsi tokoh politik yang acap bias karena sarat kepentingan, analisis pakar yang seringkali tidak fokus atau dari imbauan agamawan yang sering terlalu normatif. Mereka ingin kejelasan itu didapatkan secara objektif dan berkekuatan mengikat semua unsur nasional yang pintunya hanya satu, yaitu keputusan pengadilan. Ketika Chun diadili untuk kemudian divonis sehingga satu perkara menjadi sangat jelas, bangsa Korea ternyata tak memelihara lama dendamnya. Pengadilan sebenarnya memvonis mati Chun pada Desember 1996, tetapi atas inisiatif pejuang HAM Kim Dae Jung vonis diubah menjadi penjara seumur hidup. Dua tahun kemudian, Chun bahkan dimaafkan melalui pernyataan resmi pemerintah, juga atas nasihat Dae Jung yang saat itu menjadi presiden terpilih namun belum dilantik. "Saya bahagia karena telah memberi maaf kepadanya sehingga kami bisa berekonsiliasi demi kebaikan Korea," kata Dae Jung dalam sebuah dialog dengan BBC TV pada 10 Desember 2000. Korsel pun bertambah kuat menyusul rekonsiliasi ini, sistem peradilannya kian berwibawa, ekonominya bertambah makmur dan ekspansif, kesatuan nasionalnya bertambah padu, dan praktik berkekuasaan semakin matang sehingga acap menjadi acuan banyak negara. Sebaliknya, Pinochet terus menghindari pengadilan dan enggan mengakui telah berbuat salah dan zalim sampai meninggal pada 2006. Para kroni dan pendukung setia melindungi Pinochet dengan memberi hak kekebalan dari tuntutan hukum atau menetapkan status kesehatannya yang sakit-sakitan sebagai alasan menghindari pengadilan. Kendati begitu, proses peradilan Pinochet terus dilakukan. Meski pengadilan gagal menghadirkan Pinochet, rakyat merasa keadilan telah berusaha ditegakkan. Mereka tak menyesal karena kini mereka merasa memiliki sistem penegakkan hukum yang berani dan tak pandang bulu menyeret siapa pun ke kamar mahkamah. "Ini kali pertama dalam sejarah Chile, seorang mantan presiden, seorang mantan panglima angkatan bersenjata, dan seorang diktatur diberlakukan tidak kebal dari tuntutan hukum. Di masa lalu, para pemimpin kita selalu berusaha bersembunyi dari tuntutan hukum dengan merekayasa produk hukum," kata Jaksa Hugo Gutierrez dalam wawancara dengan satu jurnal hukum Chile pada 21 Februari 2002. Faktanya, Chile lalu menjadi negara yang memiliki sistem demokrasi yang tumbuh matang bersama makin berwibawanya sistem penegakkan hukum. Selanjutnya Chile melangkah percaya diri, bahkan menjadi inspirator gelombang demokratisasi di Amerika Latin. Kepastian Ada pelajaran yang mungkin bisa dipetik Indonesia dari rakyat Chile dan Korsel bahwa memaafkan itu memang perbuatan mulia, tapi kepastian hukum tetap lebih penting karena akan menjadi preseden bagi penegakkan keadilan di masa datang, memperbesar keyakinan rakyat bahwa negara memang berdiri di atas fondasi hukum, dan bahwa rambu-rambu moral berkekuasaan telah ditegakkan sehingga penyelenggaraan negara di kemudian masa tak harus dengan sewenang-wenang. Ada satu hal lain yang menarik dan dicontoh Indonesia dari sikap Chun Doo Hwan sebelum dibawa ke pengadilan. "Saya tak akan lari. Saya ingin dikenang sebagai orang yang hidup dengan menanggung malu," kata Chun seperti dikutip New York Times, 1 Januari 1990. Sikap Chun adalah karakter seorang perwira sejati, satu sikap wira yang sebenarnya dimiliki Soeharto, bahkan Soeharto mungkin lebih berani dari Chun. Contohnya saat ia pergi ke Sarajevo pada 1995 untuk membesarkan hati pemimpin Bosnia Alija Izetbegovic yang sedang dikurung rapat maniak-maniak perang dan putus asa atas kepengecutan Eropa yang membiarkan genosida berlanjut di Bosnia. Soeharto datang ke pusat medan perang paling gila, liar dan brutal di era Eropa modern itu tanpa ada satu pun jaminan keselamatan untuk dirinya, tidak dari Eropa, tidak NATO, dan tidak pula dari PBB. Risiko ini dihadapi karena ia memang seorang perwira penuh wira. Lalu, jika kini ia mesti menghadapi peradilan, Soeharto mungkin tak ingin meninggalkan gelanggang. Bukankah para pengacaranya telah menegaskan bahwa kasus Soeharto tetap diselesaikan di pengadilan? "Perkara jalan terus," kata pengacara Seoharto Mohammad Assegaf seperti dikutip Antara (15/1). Sebaliknya, pemerintah tampak benar untuk kukuh memegang amanat reformasi dan konstitusi yang salah satunya memerintahkan peradilan atas Seoharto. Desakan agar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk memaafkan Soeharto juga agaknya tak disertai kejujuran hukum. "Presiden Yudhoyono tak bisa memaafkan Soeharto sebab Indonesia tak memiliki mekanisme hukum yang memberi hak memaafkan sebelum seseorang menyelesaikan proses hukumnya di pengadilan," kata Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng seperti dikutip Harian Tempo (15/1). Andi menyatakan, presiden memang dibekali konstitusi hak-hak prerogatif seperti grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tetapi keempatnya tidak bisa diterapkan kepada Soeharto. "Grasi setelah ada putusan pengadilan, amnesti untuk politik, rehabilitasi kalau sudah terjadi, begitu juga abolisi," kata Andi. Jadi, mungkin memang pengadilan mesti diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk menetapkan putusan pasti mengenai Soeharto, dengan atau tanpa kehadirannya di pengadilan. Setelah itu maaf bisa diberikan seperti dilakukan rakyat Korsel kepada Chun, itu pun jika pengadilan memvonisnya bersalah. Selain itu, mungkin sebagian besar rakyat Indonesia mengharapkan episode hukum terhadap Soeharto tak berakhir dengan menyisakan kontroversi seperti pendahulunya Seokarno atau seperti diwariskan Pinochet ke Chile. Apakah epilog kasus Soeharto akan seperti Pinochet, seperti Chun Doo Hwan, atau tidak seperti keduanya? (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008