Jakarta (ANTARA) - Menjelang tanggal pemungutan suara Pemilihan Presiden-Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD hingga DPRD provinsi, kota dan kabupaten, pada 17 April 2019, jutaan pemilih di Tanah Air sudah mulai biasa mendengar istilah-istilah ilmu politik dalam bahasa asing.

Istilah undecided voter, swing voter dan golput (golongan putih), yang kerapkali dipakai pakar-pakar politik  sekitar 190,77 juta calon pemilih di 34 provinsi, serta 514 kabupaten hingga kota.

Undecided voter biasanya diterjemahkan menjadi pemilih yang belum menentukan pilihannya, sedangkan swing voter biasanya dianalogikan dengan massa mengambang, yakni pemilih yang masih mungkin untuk berpindah-pindah pilihan. Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lebih suka menggunakan istilah "migrasi politik".

Sementara itu, istilah golput (golongan putih) bisa dimaknai sebagai calon pemilih yang dengan sengaja tidak mau memilih karena merasa tidak cocok dengan calon presiden atau calon wakil presiden secara ideologis, hingga calon anggota lembaga legislatif.

Jadi, istilah-istilah undecided voter dan swing voter hingga golput akan menjadi "makanan sehari-hari" tidak hanya bagi para calon pemilih, tapi juga calon presiden serta capresnya hingga calon-calon anggota legislatif.

Dari sekitar 190,77 juta calon pemilih tersebut, diperkirakan terdapat belasan juta calon golput. Walaupun "cuma" belasan juta, tetap saja hadirnya golput akan mengurangi arti penting pemilu (pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif) mendatang. Sebab dengan adanya pemilih yang golput, maka presiden mendatang, siapa pun orangnya, pasti tidak sepenuhnya didukung oleh mayoritas atau sebagian besar rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Sebaliknya, kelompok golput ini rasanya sulit atau bahkan tidak berhak mengajukan tuntutan apa pun juga kepada pemerintah, khususnya kepala negara masa bakti Oktober 2019-2024 karena golongan putih ini sama sekali tidak mencoblos. Jadi, bagaimana?

Semua pimpinan partai politik tanpa kecuali, kemudian kedua pasangan capres-cawapres, hingga seluruh tokoh masyarakat, kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga jajaran Kementerian Dalam Negeri (Kemendgri) harus mengerahkan segala daya supaya jumlah golput menjadi nol persen atau kalaupun ada, harus ditekan seminimal mungkin.

Sementara itu, terhadap swing voter serta undecided voter, maka rasanya sama sekali tak berlebihan bila para ketua umum partai politik berserta jajarannya, aktif 100 persen untuk membujuk rayu semua calon pemilih agar memikirkan dan merenungkan siapa yang paling ideal agar menjadi calon pemimpin lima tahun mendatang. Di saat yang sama, tentu harus pula diyakini bahwa tidak ada satu orang pun terutama para pemimpin yang 1.000 persen hebat dan tanpa kekurangan sama sekali.


Kampanye terbuka

Selama masa kampanye terbuka mulai tanggal 24 Maret sampai dengan 13 April 2019, calon presiden dan calon wakil presiden baik nomor urut 01 maupun 02 sudah sangat agresif mendatangi begitu banyak daerah untuk "merayu" calon-calon pemilih.

Pada hari pertama kampanye terbuka 24 Maret 2019, Calon presiden Joko Widodo mendatangi ribuan calon pemilih di Provinsi Banten, sedangkan calon 02 Prabowo Subianto menemui warga di Manado, Sulawesi Utara, yang disebutkannya sebagai tempat kelahiran ibundanya. Janji-janji kampanye serta bujuk rayu tentu akan dilontarkan baik oleh Joko Widodo maupun Prabowo Subianto.

Kedua capres ini tentu sangat diharapkan mempunyai kemampuan untuk menjelaskan visi dan missi masing-masing apabila dipercaya oleh 262 juta rakyat Indonesia untuk menjadi RI I. Sementara itu, terhadap swing voter dan undecided voter, kedua tokoh juga harus mampu memberi keyakinan bahwa merekalah orang yang paling pantas menjadi negarawan "nomor wahid" di negara tercinta ini.

Masa kampanye memanglah tidak lama karena pada tanggal 14-16 April mendatang merupakan minggu tenang atau tiga hari tenang sehingga calon pemilih mendapat kesempatan untuk merenungkan serta memikirkan siapa calon presiden yang akan mereka coblos gambarnya di TPS dan juga calon-calon wakil rakyat yang harus memperjuangkan nasib-nasib mereka.

Semua warga negara Republik Indonesia harus benar-benar menyadari bahwa masa depan negara yang tercinta ini ada di tangan rakyat yang memilih pemimpinnya. Tentu saja tanpa menafikan peran para pejabat negara, baik di bidang eksekutif maupun legislatif.

Jadi, amat layaklah bagi semua calon pemilih untuk mendatangi tempat pemungutan suara yang digawangi oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) demi melaksanakan hak konstitusional mereka semaksimal mungkin, yakni memilih calon-calon terbaik sesuai keinginan.

Bagi yang tidak mau menggunakan hak pilihnya (golput), harus benar-benar menyadari bahwa masa 2019- 2024 sangat penting bagi rakyat Indonesia karena ini adalah saat-saat terakhir Indonesia akan dipimpin oleh generasi tua. Mulai tahun 2024, para pemimpin negara akan diramalkan dari kalangan generasi kelahiran 1960-an hingga 1970-an atau bahkan 1980-an. Pemimpin mendatang nampaknya harus lebih dekat dengan generasi milenial.

Hal inilah yang tampaknya harus direnungi lagi oleh kelompok yang sejak awal memilih golput. Perubahan Indonesia ke arah yang baik tentu menjadi cita-cita semua warga negara Indonesia, sehingga memilih untuk tidak memilih (golput), tentu saja bukan pilihan yang baik.

Sementara itu, bagi kelompok undecided voter ataupun swing voter, tentu diharapkan segera mengambil keputusan sehingga pada tanggal 17 April sudah tahu dan menyadari betul siapa yang bakal dicoblos, demi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.


Baca juga: MUI tegaskan tidak pernah keluarkan fatwa golput haram

Baca juga: MUI: Masyarakat harus gunakan hak pilih dalam Pemilu


 

Copyright © ANTARA 2019