Jakarta (ANTARA News) - Sastrawan Hamsad tutup usia pada Minggu pagi. Penulis "Bibir Dalam Pispot" itu meninggal dalam usia 75 tahun.

Nama-nama yang sudah tak asing lagi dalam dunia kesusastraan, berdatangan ke rumah duka untuk melepas kepergian pria Mandailing itu.

Ada penyair Taufiq Ismail dan penulis Eka Budianta, disebutkan Istri Hamsad, Nur Windasari. Namun, menurut Nur, tak sedikit pula wajah anak-anak muda yang ingin mengucap selamat jalan untuk Hamsad.

"Tadi Alhamdulilah banyak kawan bapak. Banyak anak-anak muda juga, tapi saya enggak hapal namanya," ujar Nur kepada Antara saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagai maestro cerpen Indonesia, Hamsad masih peduli dengan anak muda yang berkarya.

Bahkan, Nur mengatakan bahwa Hamsad selalu berpesan:

"Biarkan mereka (anak muda) berkarya, kita engga berhak menilainya, biarkan waktu yang menilai. Enggak boleh ada yang mengklaim diri atau meremehkan anak muda."

Pesan itu nampaknya juga ditujukan kepada putra pertamanya yang telah menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Nasional.

"Cuman dia tidak berani karena karyanya jauh di bawah. Padahal Ayahnya tidak mengajarkan untuk seperti Bapak," ujar Nur.

Karya terakhir

"Ketika Lampu Berwarna Merah," "Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah," dan "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku Dengan Bibirmu," merupakan beberapa novel Hamsad Rangkuti yang populer.

Hamsad nampaknya tak pernah ingin berhenti berkarya. Dia, yang selalu menggunakan mesin ketik, bahkan mencoba berkenalan dengan teknologi.

"Tiga tahun lalu Bapak mencoba pakai laptop, diajari anaknya, tapi akhirnya menyerah," kenang Nur.

Menurut Nur, Hamsad berniat untuk membuat novel baru.

"Judulnya sepertinya "Hujan Deras di Gunung," ditulis di kertas buram tapi sudah diketik Bapak pakai mesin ketik," ujar dia.

Sayangnya, karya tersebut tertinggal di kediaman sebelumnya yang berlokasi di Jalan Bangau VI, yang telah delapan tahun ditinggalkan keluarga Hamsad.

"Rumahnya sudah hancur koleksi buku bapak udah satu kayak tanah, udah berfosil di makan rayap," kata Nur.

Rumah yang telah ditempati selama 35 tahun tersebut, menurut Nur, ditinggalkan karena pembangunan bak sampah di belakang rumah oleh Pemerintah Kota Depok kala itu.

Saat ini keluarga Hamsad bertempat tinggal di Jalan Swadaya 8, Tanah Baru, Depok, rumah di mana dia menghembuskan napas terakhir.

Tutup usia

"Semalam jam 1 malam, seperti biasa, ngasih makan malam terakhir, sudah kasih minum obat, segala macam, mulai dingin (badan) Bapak, tapi cuman di kepala saja," tutur Nur.

Nur kemudian menyelimuti bagian yang dingin itu, sementara bagian kaki menurutnya masih terasa panas.

Dia kemudian memeriksa ulang bagian kepala, sebelum dia tidur, sambil mengingatkan diri bahwa dia harus bangun pukul 5 pagi untuk membuatkan obat dan menyiapkan makanan yang harus ia lakukan setiap 3,5 jam sekali.

Nur mengatakan sudah dua tahun tiga bulan Hamsad mengalami stroke.

Selama itu pula, menurut Nur, Hamsad hanya bisa berkomunikasi melalui gerakan mata sebelah kirinya -- mata kanan sudah terkancing karena penyempitan pembuluh darah ke otak.

Keluar-masuk rumah sakit telah dijalani Hamsad. Bahkan, dua bulan lalu, Hamsad dirawat selama 50 hari di rumah sakit, dengan semua biaya ditanggung oleh keluarga.

Nur tidak memiliki firasat buruk menjelang kepergian suaminya itu.

"Jam 5 saya bangun seperti biasa saya bikin obat untuk dilarutkan terlebih dahulu, jam 5 seprempat saya pegang kaki masih hangat akhirnya saya bikin susu," ujar Nur.

"Ketika mau minum obat, saya pegang perutnya dingin. Lima menit kemudian saya pegang lagi dadanya dingin, saya raba terus ke atas ke hidungnya, oksigen saya cabut. Inalillahi rupanya Bapak sudah dipanggil Yang Kuasa," tambah dia.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018