Putussibau, Kalbar (ANTARA News) - Populasi Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), Kapuas Hulu, terancam punah akibat perburuan liar dan perusakan habitat karena aktifitas penebangan hutan liar. Species Officer World Wildlife Fund Indonesia, Kantor Putussibau, Albertus Tjiu, Rabu, mengemukakan, kegiatan pembalakan liar (illegal logging) telah merusak kawasan dataran rendah, sehingga mengakibatkan orangutan semakin tergusur dan mengungsi jauh ke pedalaman rimba. "Isu terbaru yang sedang melanda Kapuas Hulu adalah perkebunan sawit, karena para investor mengincar kawasan perhuluan sungai sepanjang 805 kilometer di daerah perbatasan wilayah Lintas Utara," kata Albertus Tjiu. Dampak pembukaan wilayah hutan terhadap pemusnahan species sangat besar, karena satwa perlahan-lahan akan turun ke daerah hilir menuju pemukiman. "Ancaman berikutnya adalah perburuan yang merupakan faktor utama pemusnahan species dengan berbagai alasan, seperti pemenuhan kebutuhan protein (daging), diperdagangkan, atau dipelihara sekedar hobi," terangnya. Lebih lanjut dikatakannya, dari ketiga subspecies yakni, Pongo pygmaeus wurmbii dan Pongo pygmaeus morio, adalah Pongo pygmaeus pygmaeus yang paling terancam populasinya. "Berdasarkan data Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan tahun 2004, populasi Pongo pygmaeus pygmaeus tinggal 7.936 individu (14,10 persen), sedangkan Pongo pygmaeus morio 15.406 individu (27,40 persen), disusul Pongo pygmaeus wurmbii 32.906 individu (58,50 persen)," ungkapnya. Hasil ekspedisi penelitian untuk mengungkap populasi orangutan dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Sibau dan Embaloh menunjukkan, populasi orangutan tersebar secara tidak merata dan lebih mengelompok pada satu kawasan. "Populasinya ternyata lebih banyak di luar kawasan taman nasional, yakni tersebar di hutan lindung, dan sebagian di kawasan hutan produksi terbatas," katanya menerangkan. Menghitung jumlah orangutan yang ada, sangat sulit dilakukan karena tidak mudah untuk melihat langsung orangutan di habitatnya. Karena itu, menghitung jumlah sarang yang dijumpai dianggap merupakan cara yang paling tepat. Sarang orangutan diklasifikasikan menjadi 5 kelas berdasarkan urutan ketahanan sarang. Dimana sarang kelas satu merupakan sarang paling baru dan umurnya baru seminggu. Sedangkan sarang kelas dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan, sarang kelas tiga semua daunnya sudah coklat, sarang kelas empat alas sarangnya sudah bolong dan bentuknya kurang utuh, dan sarang kelas lima biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya. "Selama melakukan ekspedisi kami menemukan 106 sarang dengan panjang perjalanan 19.557 meter dalam survey pertama, dan 211 sarang dengan panjang jarak tempuh 44.474 meter di survey berikutnya," jelas Albert. Jika dihitung, jumlah sarang dalam survey pertama adalah 5,4 sarang perkilometer dan survey kedua 4,7 sarang perkilometernya, lebih sedikit dari survey pertama. "Artinya dalam dua kali survey, korelasi antara jumlah sarang yang ditemukan dan panjang jarak tempuh tidak terlalu jauh berbeda," paparnya. Orangutan, dikatakannya, jarang membuat sarang baru, dan akan tetap berada di pohon tersebut sampai buahnya habis. Biasanya mereka hanya memperbaiki sarang yang diamaternya 80 sampai 120 centimeter dan tidur di situ lagi. "Tapi karena makanan yang ada dalam kawasan TNBK tidak berlimpah, mereka mesti menjelajah jauh dan membuat sarang setiap bertemu pohon yang berbuah, disamping makanan lain seperti umbut, atau kulit batang," jelas aktivis lingkungan itu. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007