Jakarta (ANTARA News) - Ketua SETARA Institute Hendardi menilai langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan reintegrasi sosial atau pemasyarakatan kembali mantan teroris merupakan langkah tepat sekaligus menyempurnakan program deradikalisasi.

"Upaya pemasyarakatan yang dilakukan BNPT dalam pandangan saya adalah pelengkap dan penyempurna dari kerja deradikalisasi yang selama ini telah dilakukan," kata Hendardi di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, langkah BNPT itu sekaligus membuktikan bahwa orang-orang yang pernah terlibat dalam aksi teroris mampu berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan masyarakat lebih luas.

"Perlu diketahui bahwa kata kunci dari deradikalisasi yang selama ini sering diabaikan adalah akseptasi atau penerimaan masyarakat atas mereka yang pernah dihukum karena tindakan terorisme," kata dia.

Stigma dan diskriminasi masyarakat yang terus menerus terhadap mantan pelaku teror seringkali membuat deradikalisasi tidak berjalan optimal dan mendorong mereka untuk kembali melakukan aksi kekerasan sebagaimana dialami pelaku teror di Samarinda, Cicendo, dan Jalan Thamrin.

BNPT sendiri selain membantu para mantan teroris kembali bermasyarakat juga melibatkan mereka dalam program deradikalisasi. Misal, BNPT merangkul mantan teroris Khairul Ghazali dengan membangun pesantren dan masjid di Deliserdang, Sumatera Utara.

Akhir Maret lalu, Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius melakukan peletakan batu pertama pembangunan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) Plus dan renovasi Masjid Baitul Muttaqin di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur.

TPA dan masjid itu berada di bawah Yayasan Lingkar Perdamaian yang dipimpin mantan teroris (kombatan) Ali Fauzi Manzi, yang juga adik kandung bomber Bom Bali, Amrozi dan Ali Imron.

Menurut Hendardi, langkah kepala BNPT itu adalah jawaban dari penanggulangan terorisme dari hulu sampai hilir. Artinya, pemberantasan terorisme tidak hanya melulu dengan cara penindakan, tetapi juga bisa dilakukan dengan cara kemanusiaan.

Bagaimanapun, kata dia, mereka yang terlibat aksi terorisme dan mendapat stigma berkelanjutan adalah elemen warga negara yang memiliki hak sama untuk hidup dan meningkatkan kualitas kehidupannya, termasuk untuk berkontribusi dalam pembangunan kebangsaan dan kenegaraan.

Hal yang juga penting untuk diperhatikan, lanjut Hendardi, terorisme adalah puncak dari intoleransi. Karena itu, upaya-upaya pencegahan transformasi intoleransi menuju radikal dan menjadi teroris sama pentingnya dengan tindakan represif pemberantasan terorisme.

"Semua pihak dituntut bekerja sama untuk mengikis sekecil apa pun praktik intoleransi, karena jika kita membiarkan intoleransi menyebar luas, sama artinya dengan membiarkan bibit-bibit terorisme untuk masa yang akan datang," kata Hendardi.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017