Jakarta (ANTARA News) - Penangkapan mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman kian meneguhkan keyakinan sebagian besar rakyat bahwa kekuasaan yang diamanahkan ke pejabat tinggi sulit terlepas dari jeratan korupsi.

Pasalnya, kasus Irman bukan yang pertama. Ia mengikuti jejak "pesakitan" lain seperti mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Angelina Sondakh.

Jumlah suap yang diduga diterima Irman memang tak sebanyak pelaku korupsi lainnya.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sabtu dinihari lalu, ia diyakini menerima suap senilai Rp100 juta untuk rekomendasi kuota impor gula dari pengusaha.

"Uang haram" itu diduga ikut menambah nilai kerugian negara sebanyak Rp164 miliar pada semester I tahun ini, merujuk catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu.

Kasus Irman turut menarik ragam reaksi masyarakat. Bahkan, penangkapan tersebut menjadi isu hangat yang diperdebatkan kalangan pengamat, praktisi, dan akademisi dalam satu program siaran televisi nasional.

Dalam diskusi itu, salah satu anggota Dewan beranggapan, penangkapan Irman dilatari motif "politis", sementara pihak lain menilai, mantan ketua DPD itu layak ditetapkan sebagai tersangka karena KPK menemukan barang bukti suap di rumahnya.

Perdebatan itu agaknya menjadi kontraproduktif karena masing-masing kubu tak terlihat ingin menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, perbincangan atas kasus korupsi kian buram dan kusut karena dicampur-baur dengan dugaan "konspirasi" di balik penangkapan.

Misalnya saja, saat ini banyak pemberitaan yang mengindikasi penangkapan itu tak sesuai prosedur. Misalnya saja pernyataan istri Irman, Liestyana Rizal Gusman bahwa suaminya diboyong KPK tanpa surat penangkapan.

"Suami saya membaca surat tangkap itu untuk orang bernama Tanto tertanggal 24 Juli 2016. Dia naik ke atas saat saya sedang tutup pintu, dan sewaktu melihat saya dan bapak, dia bilang bapak menerima suap gula, tetapi di bawah ia mengaku ingin menangkap Tanto," kata Lies di Jakarta belum lama ini.

Namun, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjamin, penangkapan itu dilakukan sesuai ketentuan.

"Enggak mungkin kami berani melakukan OTT tanpa dilaksanakan dengan proper. Semuanya sesuai dengan yang selalu dilakukan KPK," kata Laode di Jakarta menanggapi.

Terlepas dari kisruh itu, tersangka sebenarnya punya hak mengajukan pra-peradilan jika meyakini petugas tak menjalankan amanat sesuai peraturan perundang-undangan. Artinya, dugaan ada pelanggaran teknis seyogianya tak menjadi bahan "debat kusir" bahkan polemik yang dipersoalkan secara berlebih di masyarakat.


Etika Politik

Kasus Irman berikut insiden korupsi lain menunjukkan bahwa korupsi salah satunya disebabkan oleh tergerusnya penghayatan terhadap etika politik mulai dari pejabat, politisi, pengusaha, hingga masyarakat.

Politik kerap dimaknai secara banal sebatas sarana mencapai kekuasaan, padahal jika menilik lebih dalam, kewenangan itu mesti dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan sosial.

"Masifnya kasus korupsi yang menimpa politisi dan pejabat merupakan bukti bahwa etika politik tidak banyak hadir dalam aktivitas pemerintahan di Indonesia," kata Gadis Arivia, pengamat Etika Politik Universitas Indonesia.

Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan (JP) itu menambahkan, kehidupan politik di tanah air masih menganggap politik sebatas sarana mencapai kekuasaan.

"Alhasil, pertimbangan terhadap etika jauh dari kegiatan berpolitik para pejabat negeri," tambahnya.

Etika sebenarnya tak lepas dari aktivitas berpolitik. Etika politik dalam konteks ini memandu tiap warga agar memaknai kekuasaan dan kewenangan sebagai sarana mencapai kesejahteraan atau kebahagiaan bagi rakyat, kata Gadis, pengajar etika politik dan hukum Universitas Indonesia.

Namun, kebahagian itu tampaknya dimaknai para pelaku korupsi dengan menerima suap dan gratifikasi.

Alhasil, gratifikasi kerap dianggap lazim oleh para pelaku usaha, pejabat pemerintah, politisi, dan sebagian besar masyarakat, tambahnya.

"Pemakluman semacam itu merupakan bukti pejabat, dan tentunya banyak kalangan di masyarakat mengabaikan peran penting etika, khususnya dalam memberi batasan terhadap peran mereka di pemerintahan," kata Gadis kepada Antara saat ditemui di Depok.

Artinya, etika politik ini tidak hanya mesti dilakukan para politisi dan pejabat, tetapi seluruh warga negara, tambahnya.

"Publik punya peran penting dalam mengawasi pejabatnya. Sikap kritis juga harus datang dari masyarakat. Sikap itu dimungkinkan terjadi dengan model masyarakat terbuka, atau masyarakat yang berdaya kritis terhadap pemimpinnya," ujar Gadis.

"Saat ini sayangnya, daya kritis sebagian besar masyarakat tumpul, sehingga arti penting etika politik kurang dihayati baik warga dan pejabatnya".


Budaya Antikorupsi

Pengajar filsafat hukum Universitas Indonesia Taufik Basari menilai persoalan pertama terletak pada belum terbangunnya budaya antikorupsi di masyarakat Indonesia.

"Kenyataannya, meski penindakan dan pembongkaran terhadap kasus besar banyak dilakukan, banyak orang masih mencari celah dan peluang melakukan korupsi"

Korupsi masih dapat tumbuh subur jika peluangnya terus terbuka, tambah Taufik yang kini aktif menjadi Ketua Bidang Hukum Advokasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) Partai Nasdem.

"Korupsi mungkin terjadi jika masyarakat masih permisif dan pejabatnya punya peluang, serta tidak ada perlawanan dari masing-masing rakyat. Hal itu yang membuat budaya antikorupsi sulit diterapkan, terlebih banyak pejabat yang mestinya menjadi pemimpin dan teladan, tetapi belum mampu memberi contoh baik untuk masyarakat".

Meski demikian, Taufik tampak optimistis bahwa budaya antirasuah dapat diciptakan. Akan tetapi, gerakan tersebut tak dapat dibebankan ke institusi atau lembaga tertentu, misalnya saja KPK ataupun aparat penegak hukum

"Lembaga dan masyarakat bersama-sama harus memerangi korupsi. Masyarakat mesti bertindak aktif dan kritis. Harus ada gerakan yang masif dari masyarakat".

Artinya, korupsi bukan hanya masalah bagi politisi dan pejabat negeri, tetapi masyarakat yang terbuka dan kritis menjadi poin penting terbangunnya budaya perlawanan terhadap tindak pidana korupsi. 

Oleh Genta Tenri Mawangi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016