Cuaca di Danau Tambing di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada Minggu pagi 10 Januari 2016 terlihat cerah.

Sinar matahari pagi mulai menembusi kawasan hutan TNLL sekitar di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara,  abupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah , itu namun udara masih saja terasa sangat dingin.

Di tepi danau, tiga wisatawan asyik mengamati alam dan danau dengan menggunakan kamera.

Salah satunya, bule asal Denmark bernama Nicholas (50) mengamati berbagai jenis burung yang beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya yang ada di seberang Danau Tambing bagian selatan.

"Saya suka sekali, tetapi saya masih penasaran, sebab belum mendapatkan beberapa burung endemik yang hanya hidup dan berkembang biak di kawasan TNLL, khususnya di sekitar Danau Tambing," kata Nicholas yang datang dari negaranya demi memburu beberapa jenis burung endemik.

Salah satu dari burung endemik dimaksud adalah burung Toroku atau Takratau iblis yang juga dikenal nama latin Eurostopodus diabolicus.

Dalam bahasa Inggris burung ini memiliki banyak nama seperti Satanic Eared Nightjar, Sulawesi Eared Nightjar, Diabolical Nightjar atau Heinrichs Nightjar.

Nama ilmiah serta nama panggilan burung ini terdengar seram. Nama tersebut diberikan kepada burung ini mengikuti takhayul masyarakat lokal yang berkaitan dengan burung ini.

Konon, bagi masyarakat yang ada di sekitar Danau Tambing sangat percaya jika burung ini adalah jelmaan setan.

Takratau iblis merupakan spesies burung berukuran medium dengan panjang tubuh dewasanya sekitar 27 cm. Salah satu burung endemik Indonesia ini memiliki bulu berwarna cokelat abu-abu bertotol dengan mahkota berwarna gelap.

Memang jika dilihat dari dekat, burung tersebut cukup seram.

Karena tidak berhasil menemukan burung Toroku, akhirnya, pria Denmark yang juga adalah seorang pencinta dan peneliti burung di dunia itu, beranjak dari tepian Danau Tambing dan mulai menyusuri kawasan hutan sekitarnya sambil ditemani dua orang pemandu wisata.

Sambil berjalan masuk dalam hutan, Nicholas berharap bisa bertemu dengan burung dimaksud yang oleh masyarakat setempat dijuluki burung setan pemangsa mata manusia.

Rela Membayar
Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) melalui Kepala Seksi III wilayah Tongoa dan Dongi-Dongi, Fery AM Liuw, membenarkan rata-rata wisman dari berbagai negara, seperti Amerika dan Eropa yang pernah berkunjung ke Danau Tambing adalah para pengamat dan peneliti burung.

Rata-rata wisman yang datang usia mereka di atas 40 tahun, bahkan ada yang sudah 90-an tahun. Meski harus memakai kursi roda mereka datang hanya untuk mengamati burung.

"Dari sekitar 265 jenis burung yang ada di sekitar Danau Tambing, ada 30 persen di antaranya endemik. "Hanya ada di kawasan TNLL," katanya.

Fery mengatakan para wisman bersedia memberi Rp 250 ribu kepada pamandu wisata atau masyarakat lokal jika bisa membawa mereka untuk melihat toruku di alam liar.

"Itu sekali melihat. Kalau ada beberapa tempat misalkan empat kali menemukannya, maka wisman akan membayar Rp1 juta," katanya.

Memang untuk bisa menemukan burung tersebut sangat susah karena habitatnya sudah terusik akibat ulah manusia yang merambah kawasan taman nasional.

Burung yang aktif pada malam hari itu sebelumnya ada di sekitar Batu Salome di wilayah Dongi-Dongi pada ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut (Mpdl).

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, burung Toroku sudah berpindah habitatnya lebih tinggi di atas 2.000 MPdl, masih dalam wilayah sekitar Danau Tambing.

Burung Toroku pada siang hari tidur di atas batu-batu besar dan pada malam hari barulah mereka beraktivitas.

Makanan utama burung takratau iblis adalah serangga. Mereka memburu dan menangkap serangga sambil terbang di habitatnya.

Burung lainnya yang bisa dilihat di TNLL antara lain elang, kakatua, nuri, maleo atau maleo senkawor (Macrocephalon maleo),gagak (Corvus unicolor), kakatua kecil jambul Kuning (Cacatua sulphurea), kacamata (Zosterops nehrkorni), madu (Aethopyga duyvenbodei), burung elang bondol, rangkong, alo, jalak tunggir merah (Scissirostrum dubium ), dan burung kipasan Sulawesi (Rhipidura teysmann).

Pewarta: Anas Masa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016