Yangon (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada Jumat mendesak Myanmar untuk menggelar pemilihan umum yang "bebas, adil, dan inklusif" sebagai bentuk dukungan terhadap pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi yang oleh konstitusi dilarang mencalonkan diri sebagai presiden.

Saat bertemu dengan Suu Kyi di Yangon, Obama membicarakan peroalan mandegnya reformasi politik di Myanmar di bawah kepemimpinan Presiden Thein Sein.

Konstitusi di Myanmar melarang seorang warga dengan pasangan atau anak berkewarganegaraan asing untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Mantan suami Suu Kyi dan dua anaknya tercatat warga negara Inggris.

Menanggapi kondisi tersebut, Obama mengatakan bahwa dia "bisa menerima adanya peraturan yang melarang seseorang mencalonkan diri sebagai presiden hanya karena status anaknya."

Suu Kyi sendiri menyebut pasal dalam konstitusi di Myanmar itu sebagai peraturan "yang tidak adil dan tidak demokratis."

"Sebagian besar masyarakat di negara kami memahami bahwa konstitusi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja," kata Suu Kyi.

Persoalan aturan pencalonan presiden di Myanmar kini tengah dibahas di parlemen--di mana 25 persen kursi dialokasikan khusus untuk pihak militer.

Sebelumnya Obama sempat bertemu dengan Presiden Thein Sein pada Kamis malam. Dalam kesempatan itu, dia menyampaikan optimisme terhadap masa depan reformasi di negara tersebut.

"Kami memahami perubahan adalah hal sulit dan seringkali jalan kemajuan tidak semudah yang kita sangka. Namun saya tetap optimis," kata Obama.

Namun di sisi lain, Obama juga mengingatkan adanya sejumlah persoalan yang menghambat reformasi politik seperti pembatasan kebebasan berpendapat, konflik yang terus berlangsung di sejumlah daerah, dan juga penanganan terhadap kelompok minoritas Rohingya.

Di Myanmar, transisi demokrasi memang tengah berlangsung. Sebagian besar tahanan politik sudah dilepaskan dan pejuang demokrasi seperti Suu Kyi juga dibiarkan mengikuti pemilu untuk menjadi anggota parlemen.

Selain itu, arus investasi asing yang terus berdatangan mengindikasikan bahwa kalangan bisnis menyambut baik perubahan politik di negeri yang dulunya dikuasai oleh junta militer itu.

Namun, sejumlah pengamat mengatakan bahwa proses reformasi tersebut mandeg pada beberapa waktu terakhir dengan menyebut tetap dilarangnya Suu Kyi menjadi calon presiden dan alokasi 25 persen kursi parlemen untuk militer.
(G005/RN)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014