Untungnya tidak meledak, karena granat ampul kan harus diketok pakai sepatu baru bisa meledak."
Jakarta (ANTARA News) - Sehari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-69, Wimo Sumanto (88) sibuk menyiapkan diri untuk upacara keesokan harinya di Istana Merdeka.

Di rumah mungil berlantai tanah, yang merupakan hadiah belas kasih dari salah seorang kopral, di salah satu gang sempit di Jalan Percetakan Negara IX, Jakarta Pusat, pejuang perintis kemerdekaan itu sedang mengelap lencana-lencananya.

"Sebelumnya saya tinggal di Kompleks Angkatan Darat yang sekarang dipakai untuk Kementerian Sosial, setelah pensiun saya diminta pergi. Tidak dapat jatah pemindahan ke Cibubur. Jadi, saya lama ngontrak," kata Wimo.

Hidup nestapa seolah bukanlah hal besarbaginya. Dia berapi-api manakala menceritakan kisah perjuangannya di sekitar tahun 1945-an.

Dengan tangan ringkihnya dan mata tuanya yang selalu berair, satu persatu tanda jasa itu sesekali ditiup dan dipoles, mengepulkan debu tebal akibat disimpan di kantong plastik lusuh, digantung di tembok yang belum dipleseter.

"Mata sudah tidak bisa melihat karena ada darah beku di kepala, akibat kejatuhan boks granat," kata Wimo menunjukkan bekas luka di kepalanya.

Ia mengisahkan, harus menyelamatkan segala rupa senjata termasuk granat yang ada di kampungnya saat Belanda datang. Pasalnya, kampung mereka bakal dibumihanguskan Belanda kalau sampai kedapatan ada senjata.

Namun, ia alami nasib naas manakala memanggul kotak granat keluar desa. Wimo tergelincir di bukit curam, kaki mudanya tidak kuat menahan beban granat-granat ampul yang akhirnya berjatuhan menimpa kepalanya.

"Untungnya tidak meledak, karena granat ampul kan harus diketok pakai sepatu baru bisa meledak," kata veteran Brigade 17 Tentara Pelajar Indonesia itu.

Kecelakaan itu berdampak seumur hidup baginya. "Sedih juga rasanya kalau cucu datang dan saya tidak bisa mengenalinya, jarak pandang cuma setengah meter kurang, kecuali dia bilang dia cucu saya," katanya.

Tahun 1958 Wimo disarankan dokter untuk dioperasi. Namun, ia terkendala biaya, dan asa risiko kelumpuhan yang mungkin diakibatkan oleh hasil operasi. Hal ini membuatnya mengurungkan niat dioperasi lantaran harus menghidupi istri dan keenam anaknya.

Darah beku di kepala Wimo itu juga membuat logika pembicaraannya juga tidak runut, alur kisah buyut dari 11 cicit itu sering melompat-lompat saat bercerita.

Ia mengemukakan, mulai angkat senjata di usia 18 tahun saat desanya di Glagah Ombo, Magelang, Jawa Tengah, di kaki Gunung Merbabu diserang Belanda. Padahal, dia masih duduk di Schakel School, sekolah rakyat setara dengan pendidikan menegah zaman sekarang.

"Itu bukan apa-apa. Kawan saya banyak yang jauh lebih muda, ada yang 13, 14, 15 tahunan banyak. Dulu kita mikirnya bangsa kita sudah merdeka kok masih diinjak-injak oleh penjajah, jadi hati saya bangkit, saya kan orangnya apa-apa ingin tahu, ingin ikut," katanya.

Kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya, kata Wimo, diraih dengan keteguhan tekad dan kecintaan luar biasa pada Ibu Pertiwi.

"Dulu kami berjuang pakai celana pendek macam pelajar SMP itu, pakai bambu runcing. Apa adanya. Zaman Jepang kan pakaian susah. Kalau ketemu tentara asing dan dia menyerah, baru kita dapat senjata api. Boro-boro pakai topi baja, pakai sepatu saja endak," katanya.

Dalam perjuangannya, rakyat sudah banyak membantu, termasuk memberikan para pejuang makanan dan minuman.

"Kita kalau tidak dikasih rakyat, kita makan singkong mentah di kebon, itu enak, manis," ujarnya.

Sambil tertawa, ia menyatakan, "Sekarang sudah merdeka, saya suka sate kambing, tapi makannya dua bulan sekali saja. Jangan sering-sering, tapi sekali makan saya bisa 20 tusuk."

Oleh sebab itu, Wimo sangat berharap agar para pemimpin Indonesia benar-benar bisa mensejahterakan rakyat mengingat jasa rakyat yang sangat besar pada dirinya dan para pejuang lain.

"Dulu rakyat bantu betul, 19 Desember 1949 setelah Jogja diduduki, orang-orang keluar dari Jogja dari pada dibunuh dan tidak mau bantu Belanda. Di situ tentara dan rakyat saling bantu, kita konsolidasi karena kita kan belum punya duit waktu itu, rakyat bangun dapur umum, rakyat bangkit waktu itu," katanya.

Hanya saja, Wimo merasa kecewa melihat keadaan bangsa ini. Dia tidak suka menonton berita di televisi yang mengabarkan hal-hal buruk negara yang dulu dibelanya mati-matian.

"Saya prihatin, yang saya banggakan sekarang apa? Tidak ada. SDM saja kita kalah dari Malaysia. Tahun 2008 ada peneliti yang menemukan dari 177 negara anggota PBB, SDM kita rangking 117, Malaysia 42, malu saya," ujarnya.

Selain itu, ia menimpali, "Di TV pejabat banyak jadi penjahat. Inti kemerdekaan apa? Kemerdekaan itu kita harus bebas dari penjajahan, punya negara sendiri, NKRI. Kita harus angkat derajat rakyat untuk lebih baik hidupnya dan bermartabat. Tapi, kini tidak," katanya.

Ia pun mengemukakan, "Saya kalau ngomong begini ke orang awam pasti dianggap cekeremes, dicuekin, dianggep kakek tua rekek, bokek ndak ada apa-apanya. Makanya, saya maunya lebih seneng ngomong sama pembesar, sama presiden sekalian, yang lebih rasional."

Saat menghadiri jamuan makan dengan Presiden di Istana Negara, Wimo ingin menyampaikan pemikirannya itu, termasuk soal kecilnya dana kehormatan bagi veteran.

"Namanya dana kehormatan, tapi kok separoh dari upah pembantu saja tidak ada. Masa dana kehormatan cuma Rp250.000? Kita veteran pantang menuntut! Kita cuma ingin mereka lihat, itu pantas tidak? Saya gak tahu pola pikir pejabat itu gimana. Kita dianggep apa? Pelayan apa?," katanya.

Dengan datangnya pemerintahan baru, ia berharap presiden selanjutnya lebih sayang rakyat dan mau menanggalkan kepartaiannya begitu menjabat.

"Soekarno dulu juga PNI, tapi ketika jadi presiden, lepas itu. Penuh pengabdian pada rakyat," katanya bernada berapi-api.

Pemerintahan baru, diharapkan Wimo juga bisa menjaga budaya adiluhung bangsa seperti yang pernah disaksikannya dulu.

"Sekarang anak-anak muda lebih menyukai budaya luar. Bahasanya juga campur aduk, saya gak ngerti. Padahal, kita juga punya budaya yang adiluhung. Sudah saya katakan tadi rakyat kita dulu punya nilai-nilai luhur, seperti gotong royong dan toleransi tinggi. Nanti ini jadi PR pemerintah baru," demikian Wimo, sang veteran kemerdekaan negeri ini. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014