Jakarta (ANTARA News) - Kawasan Asia-Pasifik merupakan kawasan yang paling berpengaruh saat ini dan adalah "tuan rumah" dari setidaknya empat kekuatan besar Amerika Serikat, China, Jepang, dan India.

Interaksi antara mereka di Asia-Pasifik sejauh ini diatur, kalau tidak dikendalikan oleh ASEAN, kata Bantarto Bandoro dalam artikelnya berjudul "Arsitektur Keamanan Asia-Pasifik: Prospek dan Pilihan untuk Indonesia" di Jurnal Diplomasi (Vol. 4 No. 1 Maret 2012),

Tujuan utamanya adalah memperkuat komitmen negara-negara besar itu untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan regional, kata Bantarto, peneliti dan pengamat masalah-masalah strategi keamanan dan hubungan internasional.

Kawasan ini kini berada dalam situasi tidak menentu akibat distribusi kekuatan yang semakin tidak jelas perkembangannya. Setidaknya ada kekuatan utama dunia selain empat negara tersebut. Kekuatan lainnya ialah Rusia, Korea Selatan, ASEAN, Australia dan Brazil.

Masing-masing negara besar yang memiliki pengaruh di kawasan memiliki persoalan mereka sendiri baik secara internal maupun eksternal akibat perubahan-perubahan dalam negeri dan lingkungan strategis mereka.

Namun tulisan ini menyoroti China dan sepak terjangnya, yang menurut simpulan Buku Putih Pertahanan Australia tahun 2009, akan "menyalip" Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dunia terbesar pada 2020.

Bahkan pada 2025, China diperkirakan tidak hanya akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia tetapi juga unggul dalam kekuatan militer dengan senjata balistik dan peluru kendali dengan jumlah besar dan tingkat presisi yang tinggi.

Pesaing AS
Para pengamat berpendapat China dengan ekonomi dan militernya bisa menjadi pesaing Amerika Serikat yang diprediksi masih tetap akan menjadi aktor paling berpengaruh di dunia tapi dominasinya cenderung melemah dibandingkan kekuatan-kekuatan dunia lainnya termasuk China.

Sementara China dan negara-negara tetangganya bertikai soal kepemilikan dan hak maritim di Laut China Timur dan Laut China Selatan, Amerika Serikat telah menyatakan komitmen sesuai dengan perjanjiannya untuk membela dua negara yang menentang klaim China (Jepang dan Filipina) dan telah menjalin hubungan erat dengan negara ketiga (Vietnam).

Tak hanya berselisih atas kepemilikan pulau-pulau, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa China menyatakan keputusan untuk mendirikan zona identifikasi pertahanan udara yang baru akan tergantung pada tingkat ancaman di wilayah udara yang dihadapi negara itu. Ini jawaban Beijing setelah muncul spekulasi China akan menetapkan zona tersebut sehubungan dengan sengketa Laut China Selatan.

Seperti dilansir kantor berita Reuters, China tahun lalu membuat Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat waspada ketika negara itu mengumumkan zona identifikasi pertahanan udara untuk Laut China Timur, yang meliputi sekelompok pulau tak berpenghuni di tengah adanya perselisihan sengit antara China dan Jepang.

Hal itu telah menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat dan negara-negara Asia lainnya bahwa China juga berencana untuk menetapkan satu zona pertahanan udara di Laut China Selatan, wilayah yang menjadi sengketa teritorial antara China dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Brunei.

China secara teratur telah mengirimkan kapal patroli ke wilayah Laut China Timur, yakni sejak penetapan zona pertahanan. Amerika Serikat, Eropa dan Jepang telah mengkritik zona pertahanan udara China itu, dan menilai pendirian zona itu sebagai langkah provokatif yang memperburuk ketegangan antara China dan Jepang.

Sengketa China-Vietnam
Kepulauan wisata Paracel jadi sengketa antara China dan Vietnam selama lebih dari 20 tahun. Kedua negara juga berselisih soal kepemilikan Johnson South Reef (Dag Gac Ma) dan Feiry Cross Reef (Da Chu Thap), bagian dari Kupulauan Spratly.

Tercatat dalam sejarah pada 14 Maret 1988, China mengerahkan sekelompok tentara untuk menduduki sejumlah pulau karang seperti Collins, Landsdowne, dan Johnson South. Pertempuran antara Angkatan Laut Vietnam dan China tak terelakkan dan berlangsung 30 hari setelah insiden pendudukan oleh China. China dan Vietnam juga tercatat pernah berperang di perbatasan pada tahun 1979.

Vietnam menyatakan pihaknya memiliki berbagai dokumen hukum dan bukti sejarah ketika Dinasti Nguyen memerintah Vietnam dari 1802 hingga 1945 atas kedaulatan Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Spratly (Truong Sa) dan sesuai dengan hukum internasional.

Kepulauan ini berada di Laut China Selatan dengan karang cantik serta perairan jernih. Meski sengketa kepemilikan masih menghinggapi Kepulauan Paracel, namun China membuka pintu bagi turis untuk mengunjungi kepulauan tersebut. Letaknya berada di Laut China Selatan dan terdiri dari kumpulan karang dan pulau kecil yang cantik.

Sejak China mengambil alih Paracel pada 1974 setelah bentrok dengan Vietnam Selatan, muncul sejumlah klaim atas siapa pemilik kumpulan 40 pulau kecil tersebut, termasuk salah satunya dengan Taiwan (Republik China).

"Menguasai Laut China Selatan merupakan tujuan lama Beijing," kata Prof. Do Tien Sam dari the Hanois Institute of Chinese Studies dalam satu lokakarya di Vietnam pada April lalu.

"Setiap kegiatan China di kawasan itu dilakukan untuk menghalangi negara-negara lain yang mengklaim "Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan".

Prof. Sam berpendapat China tidak hanya melanggar kedaulatan Vietnam dan perjanjian-perjanjian yang dicapai dengan Vietnam pada 2011, ketika Beijing dan Hanoi menyatakan komitmen mereka untuk mengatasi perselisihan Laut China Selatan melalui negosiasi dan konsultasi secara damai dan bersahabat, tetapi yang terpenting sesuai dengan "Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (DOC)".

Sengketa China dan Jepang di Laut China Timur dan perselisihan China dan Vietnam dan beberapa negara lainnya di Laut China Selatan menyangkut perselisihan soal kedaulatan dan hak maritim yang di dalamnya berurusan dengan perbatasan.

Indonesia
Direktur Indonesia Center for Democracy, Diplomacy and Defence (IC3D), Begi Hersutanto, berpendapat negara-negara berasumsi bahwa penjagaan dan pengelolaan perbatasan wilayah negaranya yang berbatasan dengan negara lain tidak hanya terkait dengan nilai strategis pertahanan, keamanan dan ekonomi, tetapi juga terkait dengan berbagai nilai strategis dari sosio-kultural.

Oleh sebab itu perbatasan menjadi isu yang sangat sensitif bagi suatu negara, tidak terkecuali Indonesia karena berhubungan dengan kedaulatan sebuah matra suci yang didewakan oleh semua negara, kata Begi dalam artikelnya berjudul "Tanggapan Diplomasi Perbatasan Republik Indonesia" di Jurnal Diplomasi tersebut.

Indonesia dan Vietnam yang merupakan negara anggota Perhimpunan Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) merupakan contoh pelajaran berharga bagi negara-negara lain khususnya yang berada di Asia-Pasifik. Kedua negara tetangga itu membutuhkan waktu selama 30 tahun untuk menyelesaikan perbatasan wilayah lautnya dan sebagai bukti turut mempromosikan perdamaian dan keamanan regional.

Konflik perbatasan antarnegara dinilai akan terus menjadi tantangan dalam pergaulan internasional. Untuk itu, negara-negara di dunia khususnya di Asia-Pasifik perlu membangun rasa saling percaya satu sama lain. Dengan demikian, China, Vietnam, Indonesia, dan lain-lainnya ikut mempromosikan perdamaian.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014