Jakarta (ANTARA News) - Pimpinan DPR akan menindaklanjuti usul penggunaan hak interpelasi impor beras sebanyak 210 ribu ton yang diajukan 27 anggota DPR. Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR Zainal Maarif di Gedung DPR/MPR/DPD di Senayan Jakarta, Rabu berkaitan dengan berkas usul penggunaan hak interpelasi impor beras "Jilid II" yang diajukan Fraksi PDIP DPR. Zainal menjelaskan, usul itu akan dibahas di rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada Kamis (14/9). Bamus akan memutuskn apakah usul itu bia dibahas di rapat paripurna atau tidak. Juru bicara pengusul hak interpelasi Ganjar Pranowo mejelaskan, usul penggunaan hak interpelasi didasarkan pada pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan DPR pada 16 Agustus 2006, bahwa pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan terletak pada tiga sektor, yaitu pertanian, perikanan dan kehutanan. Kebijakan larangan impor beras merupakan kebijakan penting dalam rangka melaksanakan revitalisasi pertanian. Presiden mengakui dampak positif atas kebijakan larangan impor beras yang telah mendorong minat produksi, mendorong kenaikan harga di tingkat petani dan mendorong ekspor beras ke Afrika dan Arab Saudi sekitar 52.000ton pada April 2005. Pada 2006, pemerintah memiliki komitmen untuk melanjutkan dan meningkatkan kebijakan pangan pada tahun sebelumnya, yang antara lain melanjutkan larangan impor beras. "Dengan demikian, kebijakan impor beras tersebut sebagai bukti tidak adanya konsistensi jajaran pemerintahdengan arah dan kebijakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang digariskan," kata Ganjar. Dampak dari impor beras, kata para pengusul, selalu diikuti dengan impor beras ilegal yang jumlahnya cukup besar. Impor beras secara psikologis menekan harga domestik. Fakta menunjukkan, keputusan impor beras diumumkan ketika petani di beberapa daerah yang menjadi lumbung beras sedang panen. Dari 31 propinsi, hanya tiga propinsi yang minus beras. Keputusan impor beras tersebut berdampak pada penurunan harga sebesar Rp200,-/Kg hingga Rp400,-/Kg. Pengusul juga menyatakan, impor beras tidak memberikan kepstian usaha dan inisiatif kepada petani dan tidak ada kepastian berapa harga gabah setelah panen. Larangan impor beras pada 2003-2004 terbukti mampu mendorong produksi dan menambah kepastian bagi petani. "Impor beras tidak berpihak dalam membantu kegiatan ekonomi di pedesaan dan justru menyubsidi petani negara lain," kata Ganjar. Menurut para pengusul, pemerintah tidak belajar dari dari "krisis politik impor beras" yang terjadi pada Nopember 2005. Dengan berulangnya impor beras, ptaktis selama lebih sembilan bulan sejak importasi Nopember tidak ada kemajuan yang berarti dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Bahkan, kondisi perberasan nasional ditinjau dari perkiraan cadangan stok pangan akhir Desember 2006 jauh lebih parah daripada Desember 2005. "Praktis tidak ada terobosan yang fundamental untuk menyejahterakan petani. Persoalan besarnya konversi lahan pertanian, kelangkaan pupuk dan tinggnya harga pupuk, ketergantungan petani terhadap pemasok pestisida, turunnya harga gabah pada saat panen puncak dan rusaknya infrastruktur pertanian adalah persoalan yang selalu terjadi," kata Aria Bima, salah satu pengusul. Karena itu, kata Bambang Wuryanto yang juga pengusul hak interpelasi beras impor ini, pihaknya perlu mempertanyakan motif pemerintah menjalankan impor beras. "Rasionalisasi pengamanan stok beras nasional untuk mencegah kelangkaan stok beras nasional untuk mencegah kelangkaan beras nasional akibat bencana alam hanyalah alasan pembenaran untuk melakukan impor beras," katanya. Pernyataan mengenai kurangnya stok beras, kata dia, sangat bertentangan dengan data surplus produksi beras pada 2005 dan hasil survei BPS tahun 2006. Task perlu interpelasi Sebaliknya Anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) Maruahal Silalahi menyatakan, impor-ekspor bagi Indonesia merupakan hal biasa, bukan sesuatu yang luar biasa sehingga tak perlu ada hak interpelasi dan hak angket terhadap impor beras. "Impor-ekspor itu biasa, apalagi negara kita terbuka untuk menjalin hubungan internasional. Impor beras itu pula telah dilakukan setiap presiden sejak Presiden Soekarno," katanya. Dia berkata "karena impor-ekspor hal biasa, maka tidak pernah ada di Indonesia bahwa pemerintahan akan jatuh karena impor beras". Bahkan Presiden Soeharto yang telah berhasil mencapai swasembada beras dan mendapat penghargaan dari PBB pun masih melakukan impor beras. Karena itu, dia menyatakan yakin pemerintah pimpinan Presiden SBY tidak akan jatuh karena kebijakan impor beras. "Impor beras ini soal biasa. Tidak akan berpengaruh terhadap politik dan ekonomi nasional," katanya. Ketua Komisi IV DPR (bidang pertabnian, kehutanan dan perikanan) Yusuf Faisal menyatakan, pihaknya telah menolak keputusan impor beras, walaupun alasan pemerintah melakukan impor cukup beralasan. Alasan pemerintah juga kuat karena adanya stok beras menipis, kecenderungan kenaikan harga beras di pasaran dan produksi yang terhambat akibat adanya bencana alam. Penolakan Komisi IV terhadap impor beras juga dilanjutkan dengan penolakan apabila pemerintah menggunakan dana APBN-Perubahan 2006 untuk membeli beras dengan cara impor. "Kami mendorong agar pemerintah lebih mementingkan pembelian beras petani, apalagi saat ini ada 17 daerah yang sedang panen," katanya. Dia juga menyatakan, impor beras itu tidak berdampak besar terhadap politik dan ekonomi nasional. "Dampak politiknya lunak dan moderat," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006