Jakarta (ANTARA) - Organisasi think tank yang berfokus pada pemenuhan energi Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR), memandang keberadaan power wheeling akan meningkatkan pasokan dan permintaan terhadap energi terbarukan, khususnya untuk solusi elektrifikasi industri.

Skema power wheeling adalah penggunaan bersama jaringan listrik, di mana produsen tenaga listrik dapat menyalurkan listrik langsung ke pengguna akhir menggunakan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki pemegang izin.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, dalam siaran persnya, Senin, mengatakan penerapan power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan dan berdampak positif terhadap investasi industri di Indonesia.

Skema ini juga diyakini dapat meningkatkan akses bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk menggunakan energi terbarukan.

“Saat ini, industri mempunyai kepentingan untuk membangun industri yang berkelanjutan. Banyak asosiasi industri mendesak hal serupa, salah satunya industri-industri yang bergabung dalam RE100, yang memiliki target penggunaan energi terbarukan sebelum 2030,” katanya.

Baca juga: IESR usulkan pembiayaan hibah dalam program transisi energi

Ia mengatakan skema power wheeling akan memudahkan industri untuk memperoleh listrik dari sumber energi terbarukan sehingga dapat mengurangi jejak karbon industri, mencapai target keberlanjutan, dan memberikan citra industri hijau yang baik bagi pelanggannya.

Langkah Ini, menurut Fabby, positif bagi peningkatan iklim investasi di Indonesia.

Pemerintah mendorong skema power wheeling masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Skema ini diwacanakan akan tercantum dalam ketentuan pemenuhan pasokan EBET Pasal 29A dan 47 A, berbentuk rumusan kerja sama pemanfaatan jaringan.

IESR mendukung skema ini masuk ke dalam RUU EBET karena dinilai dapat menciptakan peluang pengembangan sumber dan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih luas, guna mendukung transisi energi menuju emisi nol bersih yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Baca juga: IESR sebut PLTS Jakabaring jadi contoh perbaruan transisi energi 

Namun, Fabby menilai ketergantungan pada permintaan dan proses pengadaan listrik dari PLN menjadi salah satu faktor yang menyulitkan percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Posisi PLN sebagai pembeli dan penyedia energi tunggal menyebabkan pengembangan sumber daya energi terbarukan tidak optimal. Namun, menurutnya, melalui skema power wheeling akan mendorong keterlibatan produsen listrik, baik BUMN lain maupun swasta, dalam pengembangan energi terbarukan sehingga dapat menambah bauran energi terbarukan Indonesia lebih cepat.

Fabby lebih lanjut menilai kekhawatiran yang menganggap power wheeling sebagai bentuk privatisasi kelistrikan tidak tepat, karena jaringan transmisi itu tidak dijual ke pihak swasta dan masih dalam kepemilikan PLN sebagai BUMN.

Menurut dia, skema ini justru dapat mengoptimalkan utilisasi aset jaringan transmisi PLN sehingga menambah penerimaan PLN dari biaya sewa jaringan, yang bisa dipakai untuk memperkuat investasi PLN di jaringan.

IESR menyoroti beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan power wheeling. Pertama, skema power wheeling ini harus menjadi mekanisme yang mempromosikan energi terbarukan. Untuk itu, secara spesifik harus disebutkan dalam RUU sebagai power wheeling energi terbarukan.

Kedua, penerapan power wheeling tidak mengorbankan keandalan pasokan listrik. Ketiga, power wheeling perlu diatur sehingga tidak merugikan pemilik jaringan. Untuk itu, tarif penggunaan jaringan listrik bersama harus mencerminkan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan keandalan sistem, biaya layanan, serta menutupi biaya investasi untuk penguatan jaringan.

Keempat, pemerintah atau regulator harus menetapkan formula tarif penggunaan jaringan listrik bersama. Kelima, untuk memperjelas implementasi maka diperlukan pembuatan aturan turunan mengenai power wheeling yang lebih rinci.

 

 

 

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024