Jakarta (ANTARA) - Komisi Yudisial (KY) mengajak masyarakat untuk berkolaborasi dalam rangka memperkuat mekanisme pemantauan mandiri pada persidangan perkara perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) melalui pelatihan atau Training of Trainer (ToT).

Dilansir dari siaran pers KY di Jakarta, Kamis, pelatihan itu bertujuan agar pendamping PBH dapat mengamati perilaku hakim dalam mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEEPH).

“Dari tahun ke tahun, semakin tinggi permintaan pemantauan perkara-perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, sehingga KY sekarang lebih menaruh concern terhadap pada pemantauan perkara PBH,” kata anggota KY Sukma Violetta dalam ToT Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pemantauan Persidangan Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Padang, Sumatera Barat, Rabu (15/5).

Ia menyoroti pentingnya sinergi KY dan publik, khususnya pendamping, karena situasi perkara PBH kini sudah menunjukkan keadaan darurat.

“Kendala pemantauan PBH, yaitu terkait sifat tertutup persidangan perkara asusila yang justru dalam perkara seperti ini PBH terlibat, terutama PBH sebagai korban dan saksi. Dengan begitu, akses untuk melakukan pemantauan terhambat,” kata dia.

Kendala pada situasi darurat tersebut, lanjutnya, menjadi pemantik bagi KY untuk terus mendorong publik, khususnya pendamping PBH dan lembaga maupun komunitas yang berjejaring dengan pendamping PBH, agar berpartisipasi dan berkolaborasi terkait tugas pemantauan persidangan.

Dalam pelatihan, Sukma menyampaikan bahwa objek pengawasan pemantauan persidangan perkara PBH bukanlah teknis yudisial atau putusan hakim, melainkan pemenuhan hak PBH, perilaku hakim, proses persidangan, serta pemantauan pada situasi dan kondisi pengadilan.

"Pemantauan persidangan bersifat preventif guna memastikan persidangan PBH sesuai dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017 yang mengkompilasi ketentuan khusus yang dimuat dalam berbagai UU terkait perlindungan perempuan, berbeda dengan hukum acara yang selama ini dikenal dalam KUHAP,” kata dia.

Ketentuan khusus itu, kata dia, termasuk adanya kewajiban bagi hakim untuk mengidentifikasi relasi kuasa yang telah mengakibatkan PBH selaku korban tidak berdaya menghadapi pelaku, tidak menyalahkan korban, tidak merendahkan PBH, serta menegur saksi, advokat, ataupun jaksa yang memperlihatkan sikap dan pernyataan yang bias gender.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi Kejaksaan RI Periode 2019-2023 Apong Herlina menekankan pentingnya peranan masyarakat dalam pemantauan persidangan PBH. Ia pun menyampaikan ucapan terima kasih atas kolaborasi yang diinisiasi oleh KY.

"Saya berterima kasih kepada KY bahwa peluang pemenuhan hak PBH di peradilan sudah dibuka. Peran para pendamping, selain harus mencatat, juga harus berkomunikasi sesuai dengan hasil temuan dengan lembaga lain yang saling menguatkan. Kemudian, dilaporkan ke KY sebagai dasar tindakan hasil pemantauan," ujarnya.
Baca juga: KY fokuskan pemantauan sidang perempuan berhadapan dengan hukum
Baca juga: KY berhentikan seorang hakim di Sumut karena selingkuh
Baca juga: KY perluas keterlibatan publik pantau persidangan PBH 

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024