Kalau masih main usir semaunya, bisa-bisa kena masalah pelanggaran HAM dan dampak lebih buruk lainnya."
Bandarlampung (ANTARA News) - Staf Ahli Menteri Kehutanan Prof San Afri Awang MSc menyatakan, saat ini bukan lagi eranya mengusir rakyat dari kawasan hutan seperti dilakukan sebelumnya, untuk melindungi hutan dari kerusakan.

"Tidak eranya lagi main usir rakyat dari kawasan hutan seperti dulu," ujar Staf Ahli Menhut Bidang Hubungan Antarlembaga, pada Workshop Kolaborasi Model Pengelolaan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) Register 19 Gunung Betung, di Bandarlampung, Senin.

Menurut San Afri yang penelitian disertasi doktornya di Tahura WAR itu, secara prinsip semestinya yang harus dijaga adalah agar fungsi konservasi suatu kawasan lindung atau hutan itu tetap terjaga dengan memberikan akses masyarakat sekitarnya mendapatkan keuntungan dari hutan itu, bukan dengan main usir warga yang melakukan aktivitas di hutan ini secara semena-mena lagi.

"Kalau masih main usir semaunya, bisa-bisa kena masalah pelanggaran HAM dan dampak lebih buruk lainnya," ujar dia lagi.

Namun dia mengingatkan bahwa kebijakan yang tegas untuk menertibkan dan mengeluarkan warga dari kawasan lindung yang merupakan zona inti satu kawasan hutan tertentu dalam kasus tertentu harus tetap dapat dijalankan, agar tidak mengganggu fungsi konservasi kawasan tersebut yang justru dapat berdampak buruk bagi banyak orang akibat kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.

Tapi dia mengingatkan, penertiban warga yang bermukim dan berusaha di dalam kawasan hutan yang merupakan zona inti itu tidak pula dilakukan secara serta merta dan dengan tindak kekerasan, melainkan harus dilakukan secara persuasif, bertahap dan tanpa kekerasan lagi.

"Karena itu, seharusnya pula masyarakat tidak masuk ke kawasan hutan terutama pada zona inti tersebut, karena kalau dibiarkan kelestarian hutan itu akan terganggu dan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar lagi," katanya.

Berkaitan sejumlah persoalan konflik dengan warga yang terjadi di kawasan lindung (hutan) di Lampung khususnya, San Afri menyatakan bahwa Provinsi Lampung menghadapi tekanan yang berat akibat laju pertambahan penduduk yang makin tinggi karena arus pendatang dari luar masuk ke daerah ini.

"Padahal anak-anak muda dari Lampung malah mencari pekerjaan ke kawasan industri di Jabodetabek karena tidak tertampung pada sektor kerja di daerah ini, tapi para pendatang justru masuk ke daerah Lampung untuk mencari penghidupan baru. Karena itu, sasarannya adalah masuk ke kawasan hutan untuk dikelola mereka," kata dia pula.

Kawasan hutan di Lampung menurut dia, telah menjadi korban tekanan penduduk khususnya warga pendatang tersebut.

Dia juga menegaskan bahwa seharusnya negara itu hanya menguasai kawasan hutan yang ada, tapi tidak berarti memiliki semua kawasan hutan itu.

"Kami pernah mengusulkan agar kawasan hutan yang ada dapat dikelola secara proporsional masing-masing oleh BUMN dan BUMD, masyarakat, dan pihak swasta," kata dia lagi.

Ia mengemukakan bahwa umumnya di negara bekas jajahan, seperti Indonesia, sebanyak 69 hingga 89 persen hutannya dikuasai oleh negara, tapi di negara maju sebanyak lebih 65 persen hutannya justru merupakan hutan rakyat.

Karena itu, menurut dia, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan atau secara tradisional hidup bergantung dari hutan yang ditempati mereka, tetap perlu memiliki peluang dapat mengambil manfaat dari kawasan hutan dimaksud tanpa menimbulkan dampak yang merusak kelestariannya.

"Masyarakat setempat perlu mendapatkan kepercayaan penuh dapat mengelola kawasan hutan yang ada di lingkungan mereka, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga dan fungsi ekologis dan konservasinya tetap utuh, namun masyarakat tetap dapat memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dari hutan tersebut," ujarnya pula.

Dalam workshop yang dilaksanakan bersama oleh LSM Watala, Walhi Lampung, dan Kawan Tani dan berlangsung hingga Rabu (18/12), tampil pula sebagai narasumber Kepala Dinas Kehutanan Lampung Ir Syaiful Bachri MM, dan Sekretaris Eksekutif Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Andi Santosa. (B014)

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013