Jakarta (ANTARA) - Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Muhammad Abdullah Darraz, mengatakan bahwa kualitas pendidikan anti-intoleransi, kekerasan hingga perundungan dapat melahirkan manusia unggul yang beradab.

Sebab, maju atau tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Apakah proses pendidikan itu dapat menghasilkan manusia-manusia yang beradab atau bahkan sebaliknya.

"Semua pemangku kepentingan pendidikan, baik itu pemegang kebijakan (baik pemerintah pusat maupun daerah), praktisi pendidikan, maupun masyarakat luas harus memberikan perhatian terhadap kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan seperti intoleransi, kekerasan, dan juga perundungan (bullying)," kata Darraz dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Selain itu, dia mengungkapkan kasus kekerasan dan lainnya yang selama ini terjadi tidak hanya pada sekolah-sekolah umum semata. Namun, juga terjadi pada institusi pendidikan berbasis keagamaan seperti pondok pesantren.

"Ini harus menjadi perhatian bersama, karena kasus-kasus kekerasan di pesantren telah mencoreng nama baik pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia," ujarnya.

Untuk itu, Darraz menyampaikan selain kasus kekerasan, kasus-kasus intoleransi di institusi pendidikan juga banyak disebabkan oleh ulah oknum yang terlibat di dalamnya.

Menurut dia, kondisi ini terjadi akibat kurangnya penguatan nilai-nilai toleransi, terutama di sekolah-sekolah yang kultur sosialnya homogen.

Ia pun melihat hal semacam ini telah menjadi perhatian utama pemerintah melalui Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membuat program inisiasi untuk mengarusutamakan nilai-nilai toleransi dan perdamaian dalam Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) di beberapa sekolah di daerah.

Selain itu, Darraz juga menerangkan pada prinsipnya tidak terjadi disparitas antara sekolah negeri maupun swasta dalam menekankan prinsip toleransi dan moderasi beragama. Meskipun di beberapa kasus, pemerintah kecolongan karena sekolah-sekolah tersebut dijadikan sasaran radikalisasi oleh kelompok radikal.

Baca juga: Kemendikbudristek tangani 127 kasus kekerasan di sekolah sejak 2021

Baca juga: Bengkulu perkuat komitmen cegah intoleransi, radikalisme dan terorisme


"Sekolah-sekolah negeri pada beberapa tahun yang lalu, sering dijadikan lahan penyemaian ideologi radikal, karena dianggap sebagai 'lahan tak bertuan' bagi kelompok-kelompok radikal," ucap Darraz.

Darraz berharap wali murid bisa terlibat aktif dalam pengawasan terhadap kehidupan dan interaksi warga sekolah (terutama siswa) di sekolah. Hal ini untuk menghindari wali murid menyerahkan begitu saja kualitas dan proses pendidikan putera-puterinya kepada pihak sekolah tanpa memberikan perhatian yang memadai.

"Pengawasan terhadap penggunaan gawai/gadget juga harus dilakukan oleh Wali Murid, sehingga anasir negatif yang seringkali diakses oleh peserta didik dapat diminimalisasi," tuturnya.

Lebih lanjut, dia berharap proses pendidikan semakin menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang berkemajuan, beradab, dan berperikemanusiaan. Di mana peserta didik dapat menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks dan tidak mudah.

"Oleh karena itu proses pendidikan kita harus dapat memberikan bekal bagi peserta didik bukan hanya dengan kekuatan intelektual, namun juga harus dibarengi oleh kekuatan mental dan spiritual, sehingga peserta didik kita menjadi manusia yang utuh yang memiliki moralitas dan jiwa yang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia ini," pungkas Darraz.

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024