Kairo (ANTARA) - Pada 26 Juli 1956, sebanyak 100.000 warga Mesir berkumpul di Alun-Alun Pembebasan di Alexandria untuk memperingati empat tahun revolusi tersebut. Di hadapan massa yang bersorak-sorai, Nasser menyatakan bahwa dirinya telah menandatangani undang-undang nasionalisasi Suez Canal Company pada hari yang sama.

"Kita tidak boleh membiarkan kaum imperialis atau pengeksplotasi menguasai kita. Kita tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali," ujarnya.

Keputusan Nasser untuk menasionalisasi Terusan Suez menantang kepentingan inti Inggris dan Prancis.

Menyusul tekanan dan persuasi politik yang gagal, Inggris dan Prancis memutuskan untuk menjalin aliansi dengan Israel, yang saat itu sedang berselisih dengan Mesir, untuk mengobarkan perang dan menguasai Terusan Suez.

Saat perang terjadi, sejumlah warga Mesir sengaja menenggelamkan puluhan kapal di terusan tersebut untuk memblokade jalurnya dalam upaya mencegah Terusan Suez jatuh kembali ke tangan kekuatan Barat.

Pada akhirnya di bawah tekanan kecaman global dan tekad rakyat Mesir yang tak tergoyahkan untuk mempertahankan terusan itu, para agresor mundur dan menarik diri dari Mesir.


MASA DEPAN BERSAMA GLOBAL SOUTH

Kini, Terusan Suez berperan sebagai arteri vital bagi perdagangan dunia. Selama periode tersibuknya, sekitar 30 persen lalu lintas peti kemas dunia dan lebih dari 1 juta barel minyak melintasi jalur air tersebut setiap hari.

Di sepanjang tepian terusan tersebut, akan terlihat wisatawan dari berbagai etnis yang sedang berfoto dan bersantai di tempat-tempat populer, sementara kapal-kapal pengangkut barang berukuran besar yang sarat dengan muatan melaju pelan.

Namun demikian di balik suasana tenang tersebut, Mesir masih berjuang untuk membebaskan diri dari kendali Barat dan mewujudkan pembangunan yang independen.

Sejak awal 1990-an, beberapa institusi keuangan internasional yang didominasi oleh Barat memanfaatkan pinjaman dan bantuan dalam jumlah besar untuk membujuk Mesir agar menerapkan reformasi neoliberal, yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi gelombang modal Barat masuk.

Ironisnya lebih dari seabad yang lalu, melalui manuver keuangan semacam itu, Inggris dan Prancis berhasil menguasai Terusan Suez.

Menurut pandangan Kaddour, sejarah telah memberikan jawabannya.

"Berpikirlah tentang masa lalu --siapa yang telah menindas kita? Siapa yang telah membantu kita? Siapa yang berempati dengan penderitaan kita? Sahabat kita di Timur," kata Kaddour.

Saat ini, kerja sama yang saling menguntungkan di sepanjang Terusan Suez antara Mesir dan negara-negara berkembang telah membuahkan hasil yang bermanfaat.
 
   Di gurun berjarak kurang dari 50 km di sebelah selatan Terusan Suez, Zona Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan TEDA Suez China-Mesir menarik lebih dari 140 perusahaan yang mencakup berbagai sektor, termasuk material bangunan baru, peralatan perminyakan, perangkat bertegangan tinggi dan rendah, serta manufaktur mesin, yang menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 50.000 warga setempat


Di Semenanjung Sinai bagian selatan yang terletak tepat di seberang Terusan Suez, sebuah kota baru yang dibangun oleh Mesir dan Arab Saudi berkembang dengan pesat. Menurut rencana, kota tersebut diharapkan akan menjelma sebagai pusat pariwisata, perdagangan, dan teknologi yang krusial di Timur Tengah.

Di Ibu Kota Administratif Baru Mesir dan berbagai kawasan wisata di sepanjang pesisir Laut Merah, terdapat peningkatan jumlah proyek kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Mesir dan negara-negara BRICS.

Mesir berharap dapat menjalin kerja sama dan koordinasi dengan (negara-negara BRICS) untuk mewujudkan tujuannya dalam penguatan kerja sama ekonomi dan peningkatan peran Global South, ujar Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi usai mengetahui bahwa Mesir diundang untuk bergabung dengan mekanisme tersebut.

Terusan Suez yang kini telah berumur seabad tersebut menjadi saksi sebuah peradaban kuno yang memulai babak baru pembangunannya.

Usai pensiun dari Otoritas Terusan Suez (Suez Canal Authority), Kaddour, yang kini tinggal di Kairo, masih sesekali kembali ke terusan itu untuk mengunjungi tempat-tempat di mana dia pernah bekerja.

"Di sanalah mimpi kemerdekaan kami terwujud. Saya yakin di sana jugalah mimpi pembangunan kami akan menjadi kenyataan," tutur Kaddour. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024