Jakarta (ANTARA) - Ahli Pertahanan Alman Helvas Ali menekankan penting bagi TNI Angkatan Laut memiliki pusat data (database) “accoustic signature” untuk kapal-kapal selam dan kapal-kapal permukaan negara-negara di kawasan.

Database itu, menurut Alman, menopang kemampuan TNI AL dalam menjaga perairan Indonesia, terutama dari ancaman serangan bawah laut ataupun dari ancaman kapal-kapal selam asing yang menyusup ke perairan Indonesia.

“Kita tidak memiliki database untuk (acoustic) signature kapal-kapal selam maupun kapal-kapal permukaan yang ada di kawasan. Tanpa database itu, ketika kapal selam kita beroperasi, tidak mungkin kita tahu kapal selam apa yang masuk sonar kita, yang ditangkap sonar kita, karena kita tidak punya (acoustic) signature database,” kata Alman saat acara diskusi terkait kemampuan peperangan antikapal selam (ASW) dan peperangan antikapal permukaan (ASuW) yang diikuti dari platform YouTube di Jakarta, Selasa.

“Acoustic signature” sederhananya merupakan gelombang akustik yang dipancarkan kapal selam dan kapal-kapal permukaan saat mereka beroperasi di laut. Tiap kapal diyakini memiliki karakter gelombang akustik yang unik sehingga dapat dikenali jenisnya oleh sistem deteksi bawah laut/sistem penangkap gelombang bawah laut seperti misalnya sonar atau hydrophone.

Tidak hanya soal database, Alman juga menyinggung alutsista TNI AL yang belum memadai untuk menjaga perairan bawah laut Indonesia, yang luasnya mencapai 6,4 juta kilometer persegi. Dia menilai kapal-kapal selam yang saat ini memperkuat TNI AL belum memadai untuk operasi peperangan kapal selam.

“Pertama, karena aset yang sudah tua. Kedua, karena ada kesalahan decision-making masa lalu untuk procurement (pengadaan, red.) kapal selam,” kata Alman.

Dia melanjutkan kemampuan peperangan antikapal selam TNI AL saat ini dimiliki beberapa kapal perang permukaan, tetapi itu pun kondisinya belum setara alias masih berbeda-beda untuk tiap kapal.

“Berikutnya, kemampuan ASW yang berasal dari penerbangan TNI AL juga terbatas. (Helikopter) fixed wing yang kita punyai hanya mampu mendeteksi sasaran permukaan, sementara (helikopter) rotary wing yang kita punya tidak dapat melaksanakan misi ASW secara penuh,” kata Alman.

Dia mengusulkan TNI AL perlu diperkuat dengan helikopter yang ukurannya lebih besar sehingga dapat melaksanakan operasi peperangan antikapal selam secara penuh. Ukuran helikopter yang besar memungkinkan pesawat angkut itu dilengkapi perangkat deteksi (sonar) dan persenjataan yang lengkap tanpa harus mengurangi performa terbang helikopter.

Terakhir, dia juga menekankan pentingnya memiliki sistem deteksi bawah laut (underwater listening devices) yang dipasang di perairan-perairan rawan, yaitu perairan-perairan sempit (choke point) yang kerap menjadi akses masuk dan akses keluar kapal-kapal asing ke wilayah Indonesia. Indonesia memiliki beberapa choke point, yaitu di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Sulawesi, dan Laut Natuna Utara.

“Kita tidak memiliki underwater listening devices (perangkat/sistem deteksi bawah laut, red.) yang kita pasang di perairan kita, termasuk di choke point. Ini sudah pekerjaan rumah sejak lama,” kata Alman.
Baca juga: Menhan Prabowo menyerahkan dua heli antikapal selam kepada TNI AL
Baca juga: TNI AL butuh pesawat patroli maritim multifungsi anti-kapal selam
Baca juga: Indonesia beli 11 helikopter airbus anti-kapal selam

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024