Serang (ANTARA News) - Peninggalan sejarah Istana Kaibon di Kota Serang Banten yang seharusnya mencerminkan kejayaan pemerintahan Banten di masa lalu kini kondisinya terbengkalai, hanya menyisakan puing-puing bangunan tua yang sudah tidak utuh lagi.

Berdasarkan pengamatan Antara, banyak dari ruangan-ruangan bangunan istana yang dibangun pada masa Kesultananan Banten 1526 - 1813 kondisinya sudah tidak berbentuk.

Bahkan di beberapa bagian dinding bangunan dipenuhi coretan-coretan oleh tangan-tangan usil yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak keindahan bangunan secara keseluruhan.

Mulangkara selaku staf pengelola kawasan peninggalan sejarah Istana Kaibon mengatakan, anggaran yang tersedia dari pemerintah daerah dan pusat sangat terbatas sekali untuk memelihara bangunan sejarah tersebut.

Dia berharap pengunjung Istana Kaibon dapat ikut memelihara peninggalan sejarah kebanggaan masyarakat Banten minimal dengan tidak mencorat-coret bangunan dan membuang sampah sembarangan.

Lebih jauh budayawan Banten Ruby Ach Baedhawi berharap adanya perhatian pemerintah pusat dan daerah untuk memelihara bangunan bersejarah di Provinsi Banten dalam upaya mendongkrak pariwisata di kawasan tersebut.

Menurut Ruby, bangunan seperti Istana Kaibon seharusnya dalam kondisi terawat dan terpelihara sepertihalnya bangunan peninggalan sejarah lainnya.

"Bangunan itu kan sudah ditetapkan sejak lama sebagai benda cagar budaya (BCB) seharusnya pemerintah daerah dan pusat melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Sejarah (BP3S) ikut bertanggungjawab," ujar dia.

"Saya berharap kepedulian tidak saja dari pemerintah tetapi juga dapat dimulai dari masyarakat Banten sendiri untuk dapat ikut memelihara Istana Kaibon," ujar dia.


Istana Keibuan

Kaibon kalau ditilik dari namanya berarti Keibuan, istana ini dibangun untuk ibunda Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah mengigat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifusin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.

Pemandu wisata dari Museum Purbakala Banten Obay Sobari mengatakan, dalam sejarahnya Istana Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1832 berbarengan dengan Istana Surosowan.

Asal muasal penghancuran keraton, menurut Obay, adalah ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk melanjutkan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuhan).

Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak bahkan dia memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daendels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon.

Kini bangunan-bangunan tua yang berada di Istana Kaibon sudah tidak tersusun dengan rapi sehingga kita sebagai pengunjung tidak mengetahui bentuk bangunan asalnya.

Hanya beberapa saja sisa-sisa bangunan yang masih berdiri kokoh dan utuh yaitu gerbang utama dan sebuah pintu berukuran besar yang di bagian atasnya masih bisa dilihat secara utuh, serta gerbang bersayap yang masih bisa dinikmati di lokasi yang menjadi peninggalan sejarah dari Kesultanan Banten.

Bangunan-bangunan yang berada di kawasan Istana Kaibon tersebut memiliki arsitektur yang menarik dan dibentuk/dibangun dengan menggunakan bahan bangunan yang berbeda dengan masa kini.

Bangunan tembok yang menggunakan batu karang, batu bata yang berukuran jauh lebih besar dibandingkan dengan batu bata masa kini, serta lantai-lantai pun berbeda dengan masa kini, berwarna coklat dan tebal yang dibuat menggunakan tanah merah.

Di kawasan Istana Kaibon masih terdapat sebuah pohon besar yang akarnya menjulur kebawah yang dijadikan tempat bermain anak-anak dan menjadi tempat berteduh bagi para pengunjung.

Di dekat pohon besar tersebut juga terdapat anak sungai yang airnya berwarna hijau sayangnya tidak terawat, padahal dapat memberikan nilai tambah untuk menjual kawasan tersebut sebagai objek wisata.

Apabila bangunan ini dipelihara serta ditunjang dengan alam sekitar yang dipenuhi pohon rindang akan menjadi alternatif wisata ke Banten serta bukan tidak mungkin menjadi penyumbang pendapatan bagi daerah.

Oleh Ayu, Abe, Ganet
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013