Surabaya (ANTARA News) - "Saya setuju dengan penolakan pornografi, tapi tanpa UU, karena UU memang hak negara, tapi pornografi itu urusan masyarakat," kata mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Surabaya, Minggu. Gus Dur, yang juga Ketua Dewan Syuro Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) mengemukakan hal tersebut saat memberikan orasi dalam Pawai Budaya Bhinneka Tunggal Ika di Surabaya yang diikuti 200 tokoh adat dan seniman dari 33 provinsi se-Indonesia. Ia pun menegaskan, saat ini memang ada pihak-pihak yang tak setuju dengan kebhinnekaan dengan cara menganjurkan Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Anti-Pornoaksi (RUU APP). "Kelompok itu lupa dengan kenyataan bahwa UUD 1945 telah memisahkan dengan jelas antara urusan negara dan urusan agama, karena itu di Indonesia tidak boleh ada budaya tunggal di dalam negara," ujarnya. Dengan mengutip satu ayat dalam Al-Qur`an, ia menyatakan, Islam itu tidak menolak keberagaman. Bahkan, Al-Qur`an menyebutkan bahwa manusia sengaja diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan menghormati antara yang satu dengan yang lain. "Karena itu, kalau ada yang mengatakan bahwa kebhinnekaan tidak berdasarkan ajaran Islam, berarti dia kurang memahami. Pendiri negara kita telah menegakkan keberagaman sebagai pijakan dalam bernegara dengan melihat kenyataan yang memang penuh keragaman itu," ucapnya. Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut, siapa pun yang menginginkan RUU APP, berarti dia menentang UUD 1945, karena UUD 1945 menyerahkan sepenuhnya urusan pornografi kepada akhlak, kepada masyarakat, kepada agama, dan bukan kepada negara. "Kalau pun ada yang bersikap keras, seperti Habib Rizieq, maka kita sebaiknya bersikap tenang-tenang saja. Mereka itu menjadi bagian dari reaksi terhadap globalisasi yang dipimpin Amerika Serikat dan Eropa Barat, sehingga muncul radikalisasi dan nasionalisme sempit," ungkapnya. Namun, tuturnya, jika penolak RUU APP kalah di DPR RI, maka hal itu juga harus disikapi dengan kekalahan secara terhormat tanpa anarkisme, karena anarkisme itu sendiri bertentangan dengan UUD 1945. "Kalau kita kalah ya biar saja, lha wong kalah terhormat kok. Kita tenang saja dan tetap menciptakan keberagaman di dalam masyarakat. Sebab kemajemukan itu sudah ada di Indonesia sejak 700-an tahun lalu, saat Mpu Tantular menawarkan kebhinnekaan. Jadi, kita harus tetap menjalankan kebhinnekaan dan pluralitas secara budaya," demikian Abdurrahman Wahid. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006