Rencana dari Menteri BUMN itu alangkah baiknya jika dibicarakan terlebih dahulu secara mendalam dengan pejabat di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan),"
Banjarmasin (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DDPR-RI Habib Nabiel Fuad Al Musawa meminta, pemerintah agar mengkaji lebih mendalam lagi terhadap rencana pembibitan sapi di luar negeri.

Permintaan itu dalam keterangan persnya kepada wartawan yang tergabung dalam Journalist Parliament Community (JPC) Kalimantan Selatan, Selasa, menanggapi rencana pengembangan usaha pembibitan anak sapi di Australia oleh Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Rencana dari Menteri BUMN itu alangkah baiknya jika dibicarakan terlebih dahulu secara mendalam dengan pejabat di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan)," katanya.

Ia mengungkapkan, pada tahun 2013, di Ditjen PKH setidaknya ada 3 kegiatan terkait rencana pengembangan usaha pembibitan anak sapi, yaitu Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 1.150.900 dosis.

Selain itu, Peningkatan Produksi Benih/Semen Beku sebanyak 4.325.400 straw dan Peningkatan Bibit Ternak sebanyak 583.251 ekor, ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal daerah pemilihan Kalsel tersebut.

Menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu, alangkah baiknya bila rencana Meneg BUMN tersebut dikolaborasikan dengan kegiatan-kegiatan Ditjen PKH itu.

Sementara menurut Meneg BUMN, untuk melahirkan anak sapi paling efisien di Australia. Alasan biaya pembibitan anak sapi di "negeri Kangoro" itu sekitar Rp2,5 juta/ekor, sedangkan mengimpor dari negara tersebut sekitar Rp4 juta/ekor.

"Perhitungan yang dinilai paling efisien itu perlu disampaikan ke Kementan. Saya yakin, pihak Kementan juga memiliki perhitungan yang lebih efisien," ujar wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian tersebut.

Bila sama-sama efisien, lanjutnya, ada nilai tambah jika pembibitan itu dilakukan di Indonesia yaitu bisa mengoptimalkan potensi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) negeri sendiri.

"Kita memiliki banyak pakar peternakan yang mumpuni dan peternak pekerja keras. Juga lahan yang luas, baik di dataran rendah, sedang dan tinggi. Semua potensi tersebut bisa diberdayakan bila pembibitan dilakukan di Indonesia," ujarnya.

Menurut dia, untuk mengatasi kendala distribusi, Ditjen PKH dan dua BUMN Perhubungan yaitu PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dan maskapai penerbangan PT Merpati Nusantara irlines (MNA) sudah duduk bersama mematangkan konsep distribusi daging sapi dari daerah produsen ke daerah konsumen.

"PT. KAI siap mengangkut daging sapi dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali ke Jakarta menggunakan kereta dengan gerbong khusus yang menggunakan pendingin berkapasitas 20 ton," katanya.

Sedangkan PT MNA siap mengangkut daging premium untuk steak dari Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan ke Jakarta dengan kapasitas angkut setiap penerbangan mencapai tiga ton.

"Hal itupun, alangkah baiknya bila dua BUMN yang ditugasi menangani pembibitan sapi yaitu PT. Berdikari dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia terlebih dahulu mematangkan konsep bersama Ditjen PKH. Saya yakin ada solusi yang paling efisien," tandasnya.

"Kalau orang mau masuk rumah maka masuklah dari pintunya. Selama ini yang lebih berpengalaman dalam urusan sapi adalah Kementan, ya masuklah dari situ," lanjutnya.

Ia mencontohkan yang kurang baik dari pemerintah Indonesia, seperti bukannya berkoordinasi dalam mensukseskan program dan membantu rakyat, tapi malah jalan sendiri-sendiri.

Komisi IV DPR yang juga membidangi pertanian dalam pengertian luas, baru menggagas revisi Undang Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan akibat koreksi dari Mahkamah Konstitusi.

"Diantara semangat revisi tersebut adalah keinginan untuk keluar dari tekanan Australia terkait sapi impor. Sementara Menteri Negara malah ingin melanggengkan dominasi Australia. Ini kan nyeleneh namanya," demikian Habib Nabiel.

Pewarta: Syamsuddin Hasan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013