...orang yang sesungguhnya kalah ada rakyat Irak, yang menderita perpecahan sangat dalam, kemiskinan, kesedihan, pengangguran, dan korupsi
Baghdad (ANTARA News) - Sepuluh tahun setelah serbuan pimpinan AS di Irak, Dhyaa Hussein, seorang warga di Baghdad barat, memiliki tanda tanya besar di benaknya, "Apakah kami harus mengalami kesedihan dan menumpahkan darah sebanyak itu?"

Lelaki yang berusia 47 tahun itu, yang bekerja di satu toko di permukiman Sunni di bagian barat Baghdad, Al-Ghazaliyah, adalah saksi mata bagi banyak peristiwa di Ibu Kota Irak tersebut. Ia ingat hari ketika pasukan koalisi pimpinan AS mulai membom Baghdad, ia tahu keluarga mana yang telah kehilangan orang-orang yang sangat dicintainya dalam perang tersebut.

"Tak ada yang pernah bisa membenarkan harga mahal yang kami bayar selama satu dasawarsa terakhir," kata Hussein, "Saya bertanya-tanya apakah itu satu-satunya cara mengubah rejim Saddam Hussein."

Kini, 10 tahun setelah serbuan itu, warga Irak masih harus berdoa bagi kestabilan dan hidup yang lebih baik.

"Kami telah menyaksikan konflik berdarah sekatarian, dan tampaknya kami akan kembali terjerumus ke dalam pertumpahan darah," kata Mohammed Al-Asadi, pengemudi taksi yang berusia 53 tahun.

Pada Selasa (19/3), gelombang pemboman menewaskan sebanyak 60 orang Irak dan melukai lebih dari 200 orang lagi di seluruh negeri tersebut.

Setelah bertahun-tahun kehancuran dan pertumpahan darah, negeri itu menjadi terpecah dan nyaris lumpuh.

Xinhua melaporkan pengangguran dan korupsi merajalela sementara kemiskinan tersebar luas, kepedihan rakyat pun bertambah, kata pengemudi taksi tersebut.

Bagi sebagian orang, ambruknya rejim Saddam menyimpan berita baik. Sebagai pegawai Kementerian Pertanian, Basil Ali (40) mengenang ia dulu biasa memperoleh 20 dolar AS per bulan, tapi "sekarang gaji saya lebih dari 1.800 dolar".

Namun bagi banyak orang lagi, perubahan rejim tak banyak berarti.

"Kami dulu nyaris menemui ajal akibat kediktatoran brutal Saddam dan sanksi ekonomi berat PBB, tapi sekarang nyawa kami terancam akibat pemboman oleh anggota faksi milisi yang bertikai," kata Ahmed Abdullah, guru yang berusia 38 tahun.

Sementara kekayaan negeri tersebut terpusat di tangan segelintir elit politik, "orang yang sesungguhnya kalah ada rakyat Irak, yang menderita perpecahan sangat dalam, kemiskinan, kesedihan, pengangguran, dan korupsi", kata Abdullah.

"Kami tak memperoleh apapun dari perubahan rejim pada 2003, kecuali perang saudara, Al Qaida dan milisi lain, korupsi, konflik politik, pengungsian, serta ledakan terhadap gereja dan masjid," kata Wail Matti, seorang wartawan, dalam satu wawancara dengan harian lokal Azzaman.

"Siapa yang harus disalahkan atas kegagalan semacam ini?" lelaki itu mempertanyakan. "Rakyat Irak kah? Atau orang Amerika yang belum menuntaskan misi mereka sepenuhnya?"
(C003)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013