HILANGNYA PLASMA NUTFAH INDONESIA DARI PENCURIAN ASING PERLUKAN KEHATI-HATIAN RISET Cibinong, Bogor, 15/6 (ANTARA) - Kerjasama penelitian dengan pihak asing, khususnya dengan kalangan swasta memerlukan kehati-hatian sehingga plasma nutfah biodiversity sumberdaya hayati (SDH) Indonesia tidak hilang melalui kegiatan penelitian semacam itu. Hal itu mengemuka pada hari terakhir workshop untuk media bertema "Upaya membangun persepsi positif terhadap aplikasi bioteknologi di Indonesia" yang diadakan oleh Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBic) Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) di "Cibinong Sience Center" (CSC) LIPI, Kabupaten Bogor, Kamis sore. Dalam konteks itu, Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan, Pusat Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor, Dr Puspita Listianti, mengakui bahwa larinya plasma nutfah SDH di Indonesia, juga disumbang oleh banyaknya peneliti Indonesia yang masih belum mengerti mekanisme atau prosedur perizinan bagi peneliti asing dalam mengeksplorasi keanekaragaman hayati di Indonesia, sehingga terkadang aturannya terlewati begitu saja. "Padahal ada mekanisme MTA (material transfer agreement) atau surat perjanjian transfer materi, dan ini harus diberikan perhatian khusus, karena aturannya sudah ada, namun belum disosialisaikan dengan baik ke masyarakat luas terutama terhadap peneliti itu sendiri," katanya. MTA semacam itu, katanya, perlu dibuat karena memuat aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh penerima materi, seperti misalnya hanya untuk kegiatan penelitian, bukan untuk tujuan komersial. Demikian juga bila materi yang akan dikirim atau dipertukarkan mempunyai potensi HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) sehingga MTA perlu juga dibuat. Selain itu, kata Puspita Listianti, para peneliti asing yang ingin mengeksplorasi keanekaragaman hayati di Indonesia, wajib melaporkan dirinya ke Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) --sebagai "scientific authority", guna memenuhi prosedur yang telah ditetapkan. Ketika melaporkan diri, ada prosedur yang wajib diisi oleh peneliti tersebut guna memberikan data yang relevan bagi keperluan LIPI dan lembaga terkait lainnya, seperti alamat, posisi mereka di luar negeri, dan juga harus membayar sejumlah dana untuk keperluannya dimaksud. Selanjutnya, setelah persyaratan dipenuhi, LIPI akan berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Departemen Luar Negeri (Deplu), guna memperbolehkan atau tidaknya peneliti asing itu untuk mengeksplorasi keanekaragaman hayati di Indonesia. "Bila ketiga lembaga itu menyetujui, maka LIPI akan mengeluarkan Surat Izin Penelitian, dan tentunya mereka melakukan penelitian dengan didampingi peneliti Indonesia," katannya. Ia mengemukakan, prosedur tersebut dilakukan, selain untuk melindungi peneliti asing selama melakunan penelitian, juga mengantisipasi suatu saat hasil penelitiannya itu dipatenkan dan menjadi produksi internasional, sehingga akan dengan cepat terlacak guna "property right" yang akan didapatkan. Sementara itu, Direktur Indonesia Biotechnology Information Center (IndoBIC), Dr Bambang Purwantara menanggapi ancaman pencurian plasma nutfah Indonesia yang dibawa ke luar negeri berharap seluruh peneliti di Indonesia dapat memelihara dan menjaganya supaya tidak sampai terjadi. Hanya saja, diakuinya bahwa luasnya lahan hutan di Indonesia menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi peneliti Indonesia dalam melindungi plasma nutfah. "Kita tentu saja khawatir ada pihak lain yang menuai keuntungan dengan jalan pintas, seperti menjual plasma nutfah kita ke orang asing," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006