Pertamina dapat menurunkan kontribusi tersebut menjadi 60 persen di tahun 2030 hingga 30-35 persen pada tahun 2060
Tokyo, Jepang (ANTARA) - PT Pertamina (Persero) memberikan perhatian lebih pada perubahan iklim dengan mengeksplorasi sumber daya energi baru melalui pembangunan bisnis hijau yang diharapkan dapat memberi lebih banyak kontribusi pendapatan.

Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) Salyadi Saputra di Tokyo, Jepang, Sabtu, mengatakan bahwa saat ini kontribusi revenue atau pendapatan dari fossil fuel Pertamina masih sekitar 82 persen.

Diharapkan dengan bisnis baru di bidang energi baru terbarukan (renewable), Pertamina dapat menurunkan kontribusi tersebut menjadi 60 persen di tahun 2030 hingga 30-35 persen pada tahun 2060.

"Pertamina memiliki kewajiban untuk memastikan energi bagi masyarakat available (tersedia), affordable (terjangkau) dan reliable (dapat diandalkan)," kata Salyadi.

Hal Inilah, lanjut dia,  yang perlu diseimbangkan bagaimana pihaknya bisa menciptakan energy security, juga melakukan konversi ke green energy sources.

"Ini merupakan tantangan untuk kami, tapi kami telah mengidentifikasi apa saja yang bisa kami lakukan," ujar Salyadi saat berbincang di Tokyo, Jepang, Sabtu.

Pembangunan bisnis hijau baru ini merupakan komitmen dari Pertamina untuk mendukung Pemerintah Indonesia mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Baca juga: Pertamina sebut tiga tantangan penerapan energi baru di Asia

Baca juga: Pertamina lakukan dua strategi capai emisi nol karbon


Adapun bisnis baru Pertamina meliputi Energi Terbarukan, EV charging and swapping, Hidrogen Biru/Hijau, Nature-Based Solutions, Baterai dan EV, Biofuel, carbon capture and storage (CCS/CCUS) terintegrasi, dan Carbon Market Business.

Selain pembangunan bisnis hijau, Pertamina juga mengembangkan peta jalan dekarbonisasi aset, yang meliputi pembangkit listrik ramah lingkungan, losses reduction, elektrifikasi armada, elektrifikasi peralatan statis, Carbon Capture Storage (CCS) dan low carbon fuel for fleets.

"Indonesia saat ini memberikan perhatian lebih terhadap climate change, termasuk Pertamina. Kami melakukan upaya dekarbonisasi,yang dipetakan dalam roadmap dekarbonisasi yang terdiri dari dua pilar yaitu decarbonization dan new business building untuk renewable energy," kata Salyadi.

Saat ini Indonesia berkontribusi kurang lebih 2-3 persen dari emisi gas rumah kaca global dan menjadikannya pencemar terbesar kedelapan di dunia.

Oleh karena itu memulai proyek dekarbonisasi emisi gas rumah kaca di Indonesia juga akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan emisi dunia.

Di sisi lain, Indonesia memiliki hutan hujan tropis, lahan gambut, dan tutupan bakau terbesar yang berpotensi menyimpan hingga 300 miliar ton CO2. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai solusi berbasis alam terbesar kedua yang berpotensi untuk mengatasi masalah emisi.

Selain itu, Indonesia juga dilimpahi energi dan listrik terbarukan yang berpotensi menghasilkan sekitar 400 GW. Ini dapat menjadi pendorong dekarbonisasi global, yang berasal dari berbagai sumber termasuk panas bumi (27,67 GW), angin (9,3 GW), matahari (296,5 GW), bioenergi (49,8 GW), air (75,7 GW) dan laut (18 GW).

Kelebihan yang dimiliki Indonesia merupakan sebuah potensi untuk bisnis berkelanjutan jangka panjang. Oleh karenanya, Pertamina membutuhkan berbagai tindakan inovatif dan kolaboratif untuk mencapai target 2060.

Baca juga: Pertamina siapkan skenario adaptasi tren penggunaan energi listrik

Baca juga: Obligasi Hijau Pertamina Geothermal kelebihan permintaan 8,25 kali

Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023