Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia menuntut tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menghentikan studi Daffodil susu formula yang menjadikan bayi berusia di bawah empat bulan sebagai subyek penelitian.

Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto mengatakan, penelitian tersebut terkait pengaruh susu formula yang mengandung lemak susu sapi yang diperkaya dengan lemak campuran dan tambahan fosfolipid terhadap durasi dan gejala infeksi saluran pencernaan dan pernapasan pada bayi.

"Kami dari AIMI menyatakan keberatan atas penyelenggaraan Studi Daffodil dan menuntut penelitian segera dihentikan," kata Mia dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan penelitian itu harus segera dihentikan untuk melindungi hak bayi dan hak ibu menyusui. Setiap bayi menurut dia berhak mendapat inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif sejak lahir hingga enam bulan, makanan pendamping ASI yang tepat waktu dan berkualitas sejak usia enam bulan, dan pemberian ASI diteruskan hingga usia dua tahun atau lebih.

Dia mengatakan pada pasal 11 Undang-Undang No. 49/1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya agar dapat tumbuh berkembang secara layak.

Sedangkan pasal 128 (1) dan pasal 129 (2) UU No. 36/2009 disebutkan setiap bayi Indonesia berhak mendapatkan ASI eksklusif, dan setiap ibu berhak didukung penuh keluarga, pemerintah dan masyarakat dalam pemberian kesempatan menyusui.

"Setiap bayi berhak tidak mendapatkan susu formula kecuali atas indikasi medis, dan setiap ibu berhak mendapatkan perlindungan dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya," ujar Mia.

Dia mengatakan Studi Daffodil yang akan menggunakan subyek bayi sehat berusia di bawah empat bulan jelas melanggar hak bayi mendapatkan ASI eksklusif sekaligus melanggar hak ibu untuk menyusui.

"Meskipun bayi-bayi tersebut pada saat direkrut menjadi subyek penelitian sudah tidak mendapatkan lagi ASI, baik secara eksklusif maupun secara parsial, namun tidak menghilangkan haknya mendapatkan ASI dengan cara lain, misalnya donor ASI," kata dia.

Mia mengatakan pemberian susu formula pada bayi juga berisiko baik pada fisik maupun mental bayi. Menurut dia telah banyak penelitian yang diakui dunia internasional mengenai risiko pemberian susu formula pada bayi.

"Dalam penyelenggaraan Studi Daffodil, risiko kesehatan yang akan ditanggung para bayi yang menjadi subyek penelitian tidak saja yang terkait spesifik dengan penambahan zat-zat yang sedang diuji tetapi juga terhadap pemberian susu formula pada umumnya," ujar dia.

Menurut Mia risiko pemberian susu formula pada bayi di masa ASI eksklusif akan berdampak hingga remaja bahkan dewasa.

Apabila FKUI tetap meneruskan penelitian maka besar kemungkinan terjadi pelanggaran atas prinsip bahwa ilmuwan memiliki kewajiban berbuat baik kepada subyek penelitian dan masyarakat dengan tidak menimbulkan atau menambah penderitaan subyek.

"Dalam penelitian ini kami tidak melihat adanya manfaat yang akan diterima bayi dari Studi Daffodil tersebut," kata dia.

Di sisi lain Mia menilai ada konflik kepentingan dalam penelitian tersebut, sebab sampai saat ini tim peneliti Studi Daffodil tidak dapat memberitahukan secara terbuka mengenai penyandang dana penelitian tersebut.

"Pasal 19 dan 22 PP nomor 33/2012 tentang pemberian ASI eksklusif menyatakan bahwa pemberian donasi dari produsen susu formula tidak boleh menghambat program pemberian ASI eksklusif, dan harus dilakukan secara terbuka, tidak mengikat dan tidak menampilkan logo," kata dia.

Selain itu penelitian tersebut dinilai berpotensi akan menurunkan angka ASI Eksklusif di Indonesia yang saat ini kondisinya masih tergolong rendah.



Menkes

Sementara itu Ketua Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) dr. Utami Roesli, SpA. mengatakan pihaknya telah bertemu dengan Menteri Kesehatan RI Dr. Nafsiah Mboi, SpA. beserta jajarannya pada tanggal 14 Januari 2013.

Menurut Utami, dalam pertemuan tersebut Menkes menyetujui mendorong penghentian Studi Daffodil, kecuali pihak penyelenggara penelitian. Dapat memenuhi tiga syarat antara lain, subyek penelitian adalah bayi-bayi berusia diatas enam bulan (bukan merupakan usia ASI eksklusif), tidak membandingkan susu formula dengan ASI, dan mengumumkan secara terbuka penyandang dana penelitian.

"Kemenkes akan mengirimkan surat dan ditujukan kepada Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta selaku pemberi ijin, dan ditembuskan kepada seluruh dinas kesehatan tingkat provinsi lain di Indonesia. Kami mengapresiasi upaya pemerintah untuk senantiasa mendukung program ASI ekslusif di Indonesia," ujar Utami.

Sejauh ini AIMI, Selasi bersama AyahAsi dan berbagai organisasi lain telah menyurati Ketua Tim Pelaksana Studi Daffodil, terkait mengapa penelitian tersebut penting, aspek keamanan penelitian dan penyandang dana. Namun hal tersebut belum mendapatkan respon.

"Pertemuan-pertemuan dengan tim peneliti juga tidak menghasilkan suatu hal yang signifikan. Justru pertemuan dengan Kemenkes yang membuat kami berbunga-bunga karena ada dukungan," ujar Utami.
(R028/Y008)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013