New York (ANTARA) - Harga minyak melonjak sekitar enam persen pada akhir perdagangan pada Senin (Selasa pagi WIB), sehari setelah OPEC+ mengguncang pasar dengan rencana memangkas lebih banyak produksi, meningkatkan kekhawatiran pengetatan pasokan, sementara beberapa memperingatkan penurunan permintaan jika penyuling membayar lebih tinggi.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei terangkat 4,75 dolar AS atau 6,3 persen, menjadi menetap di 80,42 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah sempat naik ke level tertinggi dua bulan selama sesi tersebut.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei bertambah 5,04 dolar AS atau 6,3 persen, menjadi ditutup pada 84,93 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, setelah menyentuh level tertinggi sesi sejak 7 Maret di 86,44 dolar AS.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, mengguncang pasar dengan pengumuman pada Ahad (2/4/2023) bahwa mereka akan menurunkan target produksinya sebesar 1,16 juta barel per hari (bph).

Baca juga: Rusia: Pengurangan produksi minyak penting untuk jaga harga minyak

Baca juga: Rubel stabil, saham Rusia di tertinggi 7 bulan karena minyak melonjak


Janji terbaru membuat total volume pemotongan oleh OPEC+ menjadi 3,66 juta barel per hari termasuk pemotongan 2 juta barel Oktober lalu, setara dengan sekitar 3,7 persen dari permintaan global.

Pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengatakan telah diberi "peringatan" tentang pemotongan produksi dan mengatakan kepada pejabat Saudi bahwa mereka tidak setuju dengan itu.

OPEC menggambarkan pemotongan itu sebagai tindakan pencegahan. Para analis mengatakan melemahnya ekonomi dan meningkatnya stok minyak mendukung keputusan tersebut. Bulan lalu, harga Brent diperdagangkan mendekati 70 dolar AS per barel, level terendah dalam 15 bulan, di tengah kekhawatiran melemahnya permintaan.

Sejak pertengahan Desember, persediaan minyak mentah telah meningkat cukup stabil dan mencapai level tertinggi dalam dua tahun dalam pekan yang berakhir 17 Maret. Sanksi Barat terhadap Rusia juga telah menyebabkan sejumlah besar kargo minyak mentah Rusia mencari pembeli, kata analis Mizuho, Bob Yawger.

Namun, pembatasan produksi OPEC+ membuat sebagian besar analis menaikkan perkiraan harga minyak Brent mereka menjadi sekitar 100 dolar AS per barel pada akhir tahun. Hal ini pada gilirannya dapat mendorong kenaikan suku bunga yang lebih agresif dari bank sentral dan secara bertahap mendorong ekonomi lebih dekat ke resesi, kata Yawger dan yang lainnya.

Aktivitas manufaktur AS merosot ke level terendah dalam hampir tiga tahun pada Maret dan dapat menurun lebih lanjut karena kredit yang lebih ketat dan biaya pinjaman yang lebih tinggi.

Sentakan inflasi terhadap ekonomi dunia dari kenaikan harga minyak akan mengakibatkan kenaikan suku bunga lebih lanjut, kata Fawad Razaqzada, analis pasar di City Index.

"Orang tidak akan berhenti mengemudi atau bepergian dengan pesawat karena harga minyak yang tinggi. Oleh karena itu, permintaan hanya akan terpengaruh secara moderat oleh kenaikan harga minyak," katanya.

Namun, dalam jangka panjang, permintaan akan energi dapat merosot jika penyulingan minyak menurunkan aktivitasnya untuk mengimbangi kenaikan biaya input. Hasil penyulingan yang lebih rendah dapat mendorong harga di pompa mendekati rekor tahun lalu yang sebesar 5 dolar AS per galon, kata Yawger dari Mizuho.

Crack spread, atau keuntungan penyulingan dalam mengubah minyak mentah menjadi produk, pada Senin (3/4/2023) diperdagangkan pada level terendah sejak 24 Februari. Kontrak berjangka bensin AS naik hampir 8,0 persen ke level tertinggi sejak Januari dan menetap di 2,76 dolar AS per galon, naik sekitar 2,1 persen.*

Baca juga: Minyak melonjak di Asia karena pemotongan produksi OPEC+ guncang pasar

Baca juga: Dolar naik karena kekhawatiran inflasi setelah OPEC+ pangkas produksi

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023