stereotip negatif dari kelompok lainnya yang membangkitkan solidaritas dan kepercayaan eksistensi diri, sering kali membuat jarak yang tak penting dan memicu konflik antar-kelompok
JAKARTA (ANTARA) - Konflik antargenerasi adalah persoalan klasik yang telah ada sejak lama dan diwariskan hingga sekarang. Dalam versi terkini, terjadi adu klaim antargenerasi: Angkatan Baby Boomers merasa paling tangguh, sedangkan Generasi Stroberi mendaku pintar dan gesit, namun dipandang rapuh.

Setiap era melahirkan generasi, yang  karakternya lebih banyak dibentuk oleh situasi, tuntutan, dan tantangan pada zaman itu.

Setiap generasi merupakan aset bangsa karena, apa pun, ada sisi-sisi positif dari karakter yang melekat pada individu pada setiap generasi. Jadi, bila diambil sisi positif dari masing-masing, maka terkumpullah kekuatan kolaboratif yang mampu memajukan negeri ini.

Riwayat konflik antargenerasi setidaknya telah dimulai sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, salah satunya yang terkenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Perselisihan antara para tokoh bangsa yang mengerucut pada Soekarno-Hatta dengan golongan muda berbendera Peta (Pembela Tanah Air) yang dipelopori Sajuti Melik, Wikana, Subadio Sastrosatomo, dan kawan-kawannya.

Umumnya generasi senior (baca: tua) lebih bijak dan berhati-hati dalam mengambil langkah dan keputusan, sedangkan kaum muda cenderung buru-buru, ingin jalan pintas tanpa pikir panjang. Karakter semacam itu juga dimiliki generasi di zaman itu.

Golongan muda ingin Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan, tidak pakai lama. Sempat terjadi pertengkaran dan perdebatan karena perbedaan pendapat antara mereka. Konflik itu berpuncak pada penculikan Soekarno-Hatta yang disembunyikan di sebuah kota kecamatan Rengasdengklok, yang berada di wilayah Karawang, Jawa Barat.

Ketidakakuran antargenerasi sepertinya terjadi hampir pada sepanjang sejarah kehidupan. Perbedaan nilai, frekuensi, dan orientasi biasanya menjadi picu pasalnya. Masing-masing generasi lahir dan dibesarkan pada masa dan suasana yang berbeda, faktor itu turut memengaruhi bagaimana karakter sebuah generasi terbentuk.
 

Boomers hingga Stroberi

Generasi Baby Boomers yang lahir setelah dekade perang dunia kedua, menjadi pribadi yang tangguh karena ditempa oleh situasi politik yang keras pada masa pertumbuhannya.

Generasi X berjuluk Gen Bust yang dibesarkan oleh Boomers menjadi generasi mandiri karena sering kesepian ditinggal sibuk bekerja oleh orang tuanya. Berikutnya ada kaum milenial yang lahir ketika teknologi komputerisasi mulai diperkenalkan sehingga menjadi generasi melek teknologi. Setelahnya lahir Generasi Z yang dimanjakan dengan perkembangan teknologi digital.

Generasi Y (milenial) dan Z tumbuh di zaman yang relatif mudah dan aman sehingga tidak mengalami tempaan mental yang membuatnya kokoh. Karena hidup di zaman yang aman, mudah, dan serba-instan, sebagian generasi muda akhirnya tumbuh dengan mental yang lembek.

Profesor Rhenald Kasali dalam bukunya Strawberry Generation menyebutkan mereka adalah generasi yang memiliki banyak ide cemerlang dan kreativitas tinggi. Sayangnya, generasi muda yang ia labeli sebagai Generasi Stroberi itu, mudah menyerah, sakit hati, lamban, egois, serta pesimistis terhadap masa depan.

Generasi Stroberi dianggap dekat dengan masalah kesehatan mental karena sikap cengengnya. Bahkan mereka acap melakukan diagnosis sendiri atas apa yang dia alami dengan menggunakan aplikasi digital.

Istilah Generasi Stroberi merupakan neologisme bahasa Tionghoa yang awalnya ditujukan pada orang Taiwan yang lahir pada era 90-an. Kaum muda yang “mudah mengerut” seperti stroberi, mereka dinilai tidak mampu menghadapi tekanan sosial dan kerja keras.

 

Saling olok

Cerita saling olok antargenerasi, sejatinya telah terjadi sejak abad keempat sebelum masehi. Filsuf Aristoteles pernah mengungkapkan kejengkelannya pada generasi muda Yunani yang dinilai sok tahu dan terlalu percaya diri.

BBC dalam sebuah artikel berjudul People Have  Always Winged about Young Adults, Here’s Proof yang dirilis pada 3 Oktober 2017, mengutip retorika Aristoteles.

“Mereka merasa tahu segalanya, dan selalu cukup yakin tentang itu. (Anak-anak muda) sombong karena mereka belum mengalami kerasnya kehidupan, atau mengalami keadaan yang tak dapat dikendalikan.”

Di media sosial, baru-baru ini terjadi saling ejek antara Gen Z dan milenial terkait selera dan gaya hidup. Kaum milenial dinilai kuno, ketinggalan zaman dan out of date, sedangkan Generasi Z dianggap receh karena kerap meributkan masalah sepele, seperti model rambut, gaya berbusana, dan hal remeh lainnya.

Sebelum perang antaranya keduanya, Generasi Baby Boomers telah lebih dulu selalu ditertawakan dan diolok-olok dengan ungkapan sarkastik “Ok, Boomer”. Sapaan “Ok, Boomer” dipopulerkan oleh anggota parlemen Selandia Baru berusia 25 tahun, Chloe Swarbrick, dalam sebuah forum beberapa tahun lalu. Sindiran itu ia lontarkan untuk membalas politikus lain yang mengejeknya saat berpidato tentang perubahan iklim.

Sapaan satir “Ok, Boomer” yang terekam dalam video lantas viral dan dijadikan meme itu bertema pandangan orang tua yang kolot kepada kaum muda.

Profesor psikologi di Universitas Negeri Politeknik California, Shawn Meghan Burn, sebagaimana dilansir Pshychology Today, dalam artikel “Do You Need to Mind the Generation Gap?” pada 21 Januari 2020, mengemukakan, ”Merendahkan kelompok usia lain mungkin membuat kita merasa lebih baik”.

“Sayangnya, stereotip negatif dari kelompok lainnya yang membangkitkan solidaritas dan kepercayaan eksistensi diri, sering kali membuat jarak yang tak penting dan memicu konflik antar-kelompok.”

 

Menyudahi konflik

Berkaca pada perang antargenerasi yang terjadi di berbagai belahan negara dan nyaris terjadi pada setiap kepingan zaman, apakah generasi sekarang di negeri ini juga ingin mewarisinya hingga nanti, atau ada kehendak untuk menyudahi? Perang, dalam bentuk dan versi apa pun, hampir pasti tidak membuahkan manfaat.

Padahal, bila karakter dasar masing-masing generasi diambil sisi baiknya dan diperbaiki aspek kekurangannya, tentu bakal menjadi kekuatan positif yang lebih produktif untuk membangun negeri ini.

Konflik bawah sadar antargenerasi bisa terjadi pada lingkungan keluarga, perusahaan/instansi tempat bekerja, hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada skala apa saja, konflik tak berkesudahan jelas tidak baik untuk dibiarkan atau dipelihara apalagi dibesar-besarkan.

Lebih menyedihkan bila konflik atas sesuatu itu tidak menghasilkan konsensus dan sintesis dengan hasil yang diyakini lebih baik ke depan.

Para Boomers mungkin terkesan kaku dan saklek, tapi kabar baiknya, sikap itu pasti bertujuan untuk kebaikan dan kehati-hatian. Si Stroberi yang diledek lembek, ubahlah itu menjadi kelembutan yang mampu meluluhkan Boomers.

Saling mengerti dan memahami adalah kunci membangun keakuran lintas generasi. Mengapa (terkesan) yang muda harus mengalah? Sebab, sehebat apa pun anak muda bila tidak punya tata krama maka akan kehilangan pesonanya.

Kesadaran kolektif sebagai pembentuk masa depan menjadi modal fundamental setiap generasi untuk selalu mewariskan nilai-nilai abadi kebajikan.

Di titik inilah setiap generasi menemukan kesepakatannya kendati dalam perjalanan,  kadang diwarnai gesekan.










 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023