akarta (ANTARA News) - Belakangan ini sebagian masyarakat kesal oleh kabar banyaknya tindak kasus pidana korupsi yang melibatkan oknum Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak. Situasi ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak menurun dan akhirnya berbuntut pada ancaman Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang hendak melarang umat Islam membayar pajak jika pajak dari rakyat terus dikorupsi.

Ancaman ini bahkan dibahas pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Cirebon 15-17 September 2012. Dalam pandangan pengamat Econit Hendri Saparini,  ancaman  PBNU itu bisa dilihat sebagai gambaran kekesalan masyarakat terhadap carut marutnya dunia perpajakan Indonesia sekarang ini. "Ini menggambarkan kekesalan masyarakat, bukan soal setuju atau tidak setuju atas ancaman boikot itu. Ini salah satu bentuk opini rakyat,” jelasnya.

“Saking kesalnya dengan korupsi yang melibatkan oknum pajak, padahal hasil pajak itu digunakan untuk rakyat,” ujarnya beberapa waktu lalu. Hendri meminta pemerintah menanggapi opini ini dengan positif, setidaknya sebagai peringatan atas peliknya berbagai permasalahan pajak selama ini. Dia mengajak pemerintah melihat kritik itu sebagai bahan pembelajaran, demi pengelolaan pajak yang lebih baik lagi. "Yang terpenting respons pemerintah terhadap opini rakyat seperti apa.Ini harus segera ditanggapi pemerintah,”katanya.

Di matanya, masalah pajak adalah sangat sensitif, karena menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan rakyat. "Banyak yang perlu diselesaikan dan tidak bisa hanya dengan berbicara lalu selesai masalah,” kata Hendri lagi. Di sisi lain, dia mendesak pemerintah untuk meredam kasus korupsi yang selama ini terjadi pada dunia perpajakan. “Supremasi hukum harus ditegakkan bagi para koruptor pajak.”

Memandang insiatif Ditjen Pajak untuk mengenakan sanksi tegas kepada Wajib Pajak yang menunda pembayaran pajak karena mengikuti ancaman boikot pajak dari PBNU itu, Hendri melihat Ditjen Pajak tak perlu menerapkan sanksi tegas seperti itu. Ancaman sanski seperti itu, menurut Hendri, akan memberikan dampak kontraproduktif bagi Ditjen Pajak. “Sebaiknya jangan terlalu menantang masyarakat. Sebaiknya lakukan tuntutan masyarakat itu dengan jaminan penegakan hukum terhadap pelaku palanggaran pajak. Masyarakat itu tidak bisa diberikan respon negatif,” ujarnya member saran.

Hendri menilai memang institusi pajak tidak seluruhnya dipersalahkan atas terjadinya korupsi pajak, apalagi saat ini sudah dibentuk whistleblowing system untuk mencegah praktik tersebut. Hendri menganggap pelanggaran-pelanggaran itu terjadi karena ulah beberapa orang yang tidak bertanggungjawab sehingga mencemarkan nama Ditjen Pajak sebagai suatu institusi.

“Ditjen Pajak juga harus bisa memperbaiki sistem dan kelemahan karena faktanya masih banyak dispute pajak yang terjadi. Ada  yang salah dalam sistem tersebut. Tingkat pembayaran pajak dari Wajib Pajak juga masih rendah. Ini yang harus diperbaiki dan menjadi pekerjaan rumah (PR) Ditjen Pajak,” tandas Hendri. Dia juga menyoroti pentingnya Ditjen Pajak memiliki sistem kepemimpinan yang tegas. Ini demi melancarkan program reformasi birokrasi yang selama ini digalakkan pemerintah. "Percuma juga sistem remunerasi diterapkan kalau masih banyak terjadi pelanggaran pajak,” kritiknya.

Oleh karena itu, dia menilai imbauan boikot pajak hanyalah buntut dari reaksi publik atas ketidaksinkronan ajakan gencar pemerintah kepada rakyat untuk membayar pajak, dengan distribusi pajak yang kerap disimpangkan. Dia menyimpulkan ini dari tidak imbangnya  pembangunan dan pengembangan pelayanan publik untuk rakyat. Jika ini yang disoroti Hendri, maka masalah dasarnya adalah pada alokasi pajak yang menurut Ditjen Pajak sudah bukan lagi ranah kewenangannya. Menurut Ditjen, lembaganya bukanlah pihak yang memanfaatkan uang pajak, melainkan Kementerian/Lembaga dan Dewan Perwakilan Rakyat melalui APBN.

Ditjen Pajak menilai, perbuatan korupsi terjadi setelah APBN disahkan, dan bukan dilakukan oleh Ditjen Pajak.  "Sehingga dapat dikatakan bahwa boikot pajak adalah salah sasaran,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, A. Fuad Rahmany. Namun demikian, Hendri menganjurkan agar Ditjen Pajak lebih bijak dalam menyikapi inisiatif PBNU tersebut. “Saya rasa, itu sudah melalui banyak pertimbangan, baik dari segi agama maupun sosial. Mereka pasti punya pertimbangan sendiri,” katanya. Hendri pun mengajak semua pihak untuk tidak alergi dari kritik, sebaliknya semakin besar dan sigap memperbaiki diri oleh bekal-bekal kritik publik seperti itu.

Narasumber: Hendri Saparini, Pengamat Econit

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012