Jakarta (ANTARA) - Jika krisis kesehatan mempertanyakan beberapa fondasi masyarakat kita, maka filsafat membantu kita untuk bergerak maju, dengan merangsang refleksi kritis terhadap masalah yang sudah ada tetapi yang didorong oleh pandemi hingga batasnya.

Pada saat radikalitas dan kecepatan pergolakan besar dunia dapat membingungkan kita, filsafat memungkinkan kita untuk mundur dan melihat lebih jauh ke depan. (Audrey Azoulay, Director-General UNESCO)

Sejarah telah membuktikan bahwa krisis di ambang kritis dapat dipecahkan melalui dialektika reflektif-komprehensif yang lintas-multidisipliner antara para filsuf, cendekiawan, kalangan terpelajar, pemerintah, pengusaha, birokrat, hingga kalangan akar rumput. Tentunya dialektika tersebut perlu bersumberkan pada kebenaran, mempertimbangkan multiaspek keilmuan.

Dengan demikian, filsafat berhasil “reinkarnasi” setelah mengembangkan kesadaran metafisik-intuitifnya sendiri, hingga krisis berikutnya.
Krisis tidaklah filosofis.

Friksi, revolusi, resolusi terkadang menonjol dalam sejarah, seni, dan sains. Tetapi pergolakan ilmiah nan artistik telah disatukan ke dalam tradisi umum yang berhasil memasukkan kontroversi masa lalu mereka.

Terlepas dari sejarah konfliknya, sains berpotensi menyatu. Filsafat, sebaliknya, memiliki sejarah menentang dan memperbarui tradisi masa lalu. Tradisi sains memiliki otoritas epistemik bagi para ilmuwan praktis yang tak tertandingi, namun enigmatis dan validitasnya terkadang semu.

Simulakra 5.0

Masa lalu belum berlalu, namun memiliki artefak yang mengukir prasasti kehidupan, menjadi pondasi bagi struktur pengalaman manusia, menumbuhkembangkan harapan karena berakar pada kepingan luka, serpihan simalakama, namun menempa manusia.

Di era digital ini, semua hal berpotensi menjelma ilusi. Semua orang berlomba menjadi sosok ideal yang melebihi jati diri. Terlebih dengan keberadaan media sosial sebagai pilar kelima demokrasi.

Tsunami informasi senantiasa menjadi konsumsi yang mudah dimuntahkan karena pada akhirnya juga mudah dimentahkan oleh fakta dan sains. Pertengkaran kecil berpotensi menghebat. Bermula kalimat singkat, berakhir sekarat. Teknologi memang selalu memiliki dua sisi, yakni manfaat dan mudarat. Itulah simulakra 5.0. Inilah akar konflik atau krisis di era digital.

Untuk menghadapi era digital, terdapat lima soft-skills fundamental. Pertama, komunikasi-keterampilan interpersonal. Kedua, etika-integritas dalam bertingkah laku. Ketiga, kapasitas manajemen perubahan. Keempat, kompetensi untuk menginspirasi. Kelima, mengembangkan keterampilan manajemen strategis dan visioner.

Pada uraian berikut ini, diuraikan strategi komunikasi di era digital (komunikasi 5.0) sebagai upaya solutif dari simulakra 5.0.

Filosofi Komunikasi

Filsafat komunikasi adalah bentuk arsitektur komunikatif yang memerlukan peta pemahaman di setiap tingkatan, dari hal-hal yang paling mendasar hingga tingkat pemahaman temporal yang paling canggih, hingga penyingkapan posisi di arena publik.

Peta pemahaman ini harus dimulai dengan perincian yang paling mendasar dan berlanjut ke tingkat pemahaman temporal yang paling kompleks.

Dalam subjek teori komunikasi, diperbolehkan untuk tidak setuju dengan perspektif penulis serta filosofi komunikasi. Teori komunikasi pragmatis mengakui keragaman perspektif yang dipegang oleh publik.

Kesadaran ini adalah hasil dari menerima kemungkinan bahwa teori komunikasi bisa menjadi usang dan mati, hanya untuk dilahirkan kembali oleh opini publik.

Filosofi komunikasi yang sederhana hampir tidak menyentuh permukaan bidang komunikasi yang luas dan rumit. Ini adalah pengakuan kepada orang lain tentang pandangan atau bias yang terbentuk sebelumnya di bidang ilmu komunikasi.

Tujuan dari filosofi komunikasi seharusnya bukan untuk mengumpulkan fakta yang tak terbantahkan; melainkan meningkatkan kemampuan insan untuk saling memahami sehingga terwujud harmonisasi.

Komunikasi Kesehatan 5.0

Komunikasi kesehatan 5.0 diturunkan dengan menggabungkan istilah komunikasi dan kesehatan, di era digital. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan bukan hanya tidak adanya penyakit, kelemahan, atau gangguan melainkan kehadiran semua ini yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan ekonomi.

Definisi kesehatan sangat luas dan sulit dirumuskan karena multifaset. Misalnya: pribadi, biomedis, dan sosial. Konsekuensinya, kesehatan adalah keadaan seseorang yang bebas dari segala penyakit fisik dan gangguan jiwa, yang kompleks dan terkadang tidak nyata.
Dari multidefinisi tentang kesehatan tersebut, dirumuskan komunikasi kesehatan.

Komunikasi kesehatan adalah proses penyampaian pesan kesehatan melalui media tertentu dari pengirim pesan ke penerima pesan. Pendekatan tersebut berusaha untuk mengintegrasikan multikomponen kesehatan secara komprehensif demi mensejahterakan masyarakat serta mencerahkan peradaban.

Jika dibandingkan dengan komunikasi umum, pesan dalam komunikasi kesehatan bersifat spesifik dan berbeda. Biasanya tentang tantangan atau pola kesehatan yang dihadapi masyarakat. Contohnya, COVID-19.

Beberapa cara komunikasi kesehatan telah didefinisikan oleh para sarjana dan profesional. Misalnya: mendidik, membujuk, serta menginspirasi orang, organisasi, dan komunitas untuk mengambil tindakan demi meningkatkan kesehatan mereka serta kesehatan komunitas mereka adalah tujuan komunikasi kesehatan.

Teori, penelitian, dan praktik komunikasi kesehatan berkaitan dengan pemahaman dan saling ketergantungan yang memengaruhi komunikasi (interaksi simbolik dalam bentuk pesan dan makna) dan sikap, perilaku, dan hasil yang berhubungan dengan kesehatan.

Dalam komunikasi kesehatan, kedua belah pihak secara aktif terlibat dalam dialektika dalam upaya mencapai konsensus tentang pemahaman bersama tentang masalah kesehatan. Ini adalah strategi bagi kedua belah pihak untuk menyegarkan kembali pemahaman mereka dengan mendapatkan data kesehatan yang tidak memihak.

Komunikasi kesehatan memang disengaja untuk mengubah perilaku kesehatan masyarakat dengan menggunakan berbagai prinsip dan teknik komunikasi, termasuk komunikasi antarpribadi dan massa.

Neurokomunikasi

Neurokomunikasi, yang berkaitan dengan komunikasi ilmu saraf, penuh dengan tantangan yang cukup besar. Bagaimana para neurolog sukses mengatasi masalah ini sambil memajukan tujuan riset mereka? Selama dekade terakhir, upaya untuk mengirimkan informasi akurat tentang penemuan ilmiah baru kepada masyarakat umum telah berkembang melampaui batas upaya searah, terlepas dari kenyataan bahwa ini tetap menjadi tujuan utama komunikasi sains.

Harapan publik akan partisipasi dan percakapan yang bermakna tentang masalah etika dan sosial yang dihasilkan dari penelitian telah mengarah pada terciptanya taktik komunikasi yang lebih interaktif dan multi arah.

Publik berharap mendapat masukan tentang arah penelitian ilmiah, dan ahli saraf merasa tidak nyaman saat membuat prediksi tentang bagaimana masyarakat akan bereaksi terhadap prospek informasi dan teknologi baru.

Dalam situasi ini, jumlah orang yang mendorong komunikasi langsung yang lebih kuat antara ilmuwan, jurnalis, dan masyarakat umum telah meningkat secara signifikan. Namun, untuk ilmuwan individu, waktu yang diperlukan untuk kegiatan komunikasi sains yang sukses tersebut cukup besar.

Ini  benar jika seseorang menganggap komunikasi tidak hanya mencakup penyebaran representasi faktual ilmu saraf kepada masyarakat umum, tetapi juga kegiatan keterlibatan publik yang sering kali berbentuk forum dua arah di mana debat dan diskusi dapat terjadi.

Komunikasi dalam neurologi dan neurosains memiliki tantangan tersendiri. Pertama-tama, kompleksitas otak. Mengingat pemahaman baru tentang otak berasal dari berbagai subspesialisasi ilmu saraf, perlu menjelaskan perkembangan jalur neurotransmiter. Kedua, signifikansi mental dan fisik dari kehidupan, filosofi, dan agama seseorang.

Sementara menantang sifat "keyakinan", kemajuan ilmiah dalam memahami fungsi otak dan dasar biologis dari perilaku memiliki potensi untuk menghasilkan atribusi tanggung jawab moral yang dibebankan secara sosial, definisi baru tentang perilaku "normal", dan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana manusia berpikir. dan belajar.

Ketiga, pengaruh penyakit sistem saraf pusat terhadap kesehatan masyarakat. Karena efek gangguan neurologis pada kehidupan individu dan masyarakat, ada banyak perhatian dan antusiasme untuk kemajuan terbaru dalam ilmu saraf yang menjanjikan untuk menyediakan alat diagnostik, intervensi terapeutik, dan terapi gangguan saraf.

Keempat, individu dengan masalah kesehatan saraf dan mental berisiko mengalami diskriminasi.

​​​​​​PPDI masa mendatang, riset filsafat komunikasi kesehatan berkembang semakin canggih seiring perkembangan teknologi digital. Meskipun demikian, nilai-nilai moral-spiritual, (bio)etika, kearifan lokal tetaplah menjadi pondasi dasar saat berinteraksi.

*) Dokter Dito Anurogo MSc, adalah mahasiswa S3 di Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, pengurus Ditlitka Komisi Kesehatan PPI Dunia, pemerhati komunikasi, dan penyuka filsafat
 

Copyright © ANTARA 2023