Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan penguatan surveilans dalam mencari kasus stunting sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan kualitas Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMKes) utamanya bagi wilayah di luar Pulau Jawa.

“Surveilans terhadap intervensi kasus-kasus stunting, itu penting karena bagaimanapun banyak faktor sensitif dan spesifik yang bisa kita temukan dari surveilans,” kata Hasto Wardoyo dalam Seminar Hasil Kajian Kebijakan Program Penurunan Stunting yang diikuti daring di Jakarta, Kamis.

Hasto menyoroti bahwa sampai dengan saat ini, surveilans yang digencarkan untuk menemukan kasus stunting baru masih perlu dipacu lebih cepat. Padahal melalui surveilans, pemerintah dapat mengetahui penyebab utama terjadinya stunting di suatu daerah atau pola stunting hingga di tingkat kabupaten/kota.

Misalnya, saat ditemukannya diare sebagai salah satu penyebab terjadinya stunting pada anak akibat dari lingkungan yang tidak bersih, minimnya edukasi sebelum calon pasangan pengantin menikah terkait bahaya kawin usia dini hingga pentingnya mengkonsumsi tablet tambah darah.

Baca juga: BKKBN-TNI AD latih Babinsa entaskan stunting lewat intervensi sensitif

“Apalagi dalam satu tahun yang menikah di Indonesia hampir dua juta pasangan. Dari dua juta pernikahan, yang hamil dalam tahun yang sama ada 1,6 juta orang. Di mana 400 ribu bayi yang dikandung bisa berkontribusi terhadap stunting,” katanya.

Sayangnya, surveilans tidak dapat berjalan dengan baik karena masih ada kesenjangan ketersediaan SDMKes terutama di Provinsi Maluku dan Papua. Hal tersebut kemudian berdampak pada pencatatan dan penggunaan aplikasi kesehatan seperti Elsimil, e-PPGBM, SSGI, dan PK-21.

Menurut dia, meskipun tiap aplikasi memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun semua datanya dapat dipadukan dan akan sangat membantu percepatan penanganan stunting. Hanya saja, hal itu menyebabkan minimnya penemuan kasus di lapangan karena pencatatan data yang tidak lengkap.

"SDMKes yang tidak merata perlu dikoordinasikan kembali dengan kementerian/lembaga terkait karena tiap data yang seharusnya bisa tercatat by name by address, dapat berguna untuk melakukan analisis lebih jauh atau mencari rekomendasi yang sesuai untuk mengatasi stunting," katanya.

Baca juga: BKKBN gandeng penyuluh agama di DIY percepat penurunan angka stunting

Pemerintah juga perlu mencari cara baru melalui sebuah forum guna merefleksikan berbagai kebijakan sebelumnya, agar tiap program yang dijalankan saat ini memberikan hasil optimal dan tidak hanya terpaku pada persoalan anggaran saja.

Sementara di Pulau Jawa, hal yang perlu dibenahi adalah strategi bagi pemerintah bersama SDMKes berkomunikasi dengan masyarakat, yang dapat memunculkan perubahan perilaku dan pola pikir dari diri masing-masing keluarga.

Hasto menyampaikan bahwa seluruh pihak dari pusat sampai daerah telah dititipkan amanat untuk meningkatkan sinergi konvergensi oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam pengentasan stunting. Beliau berpesan agar stunting tidak hanya disampaikan dalam seminar atau webinar saja, melainkan harus ramai diimplementasikan sampai ke tingkat grassroot.

BKKBN pada Rabu (7/12) telah berkoordinasi dengan TNI-AD untuk melatih Babinsa di tingkat desa guna menggencarkan intervensi sensitif yang berpengaruh 70 persen terhadap terjadinya stunting.

Baca juga: BKKBN bergerak ke pulau-pulau atasi stunting dan kemiskinan ekstrem

“Saya juga berharap mutualisme kerja sama antara Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dengan perguruan tinggi betul-betul terwujud, karena stunting dengan problematika yang ada di daerah juga menjadi material teaching bagi para civitas akademika,” ujar Hasto.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022