Jakarta (ANTARA News) - Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan, Markas Besar (Mabes) Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak mempunyai rencana membeli peluru kendali sidewinder, baik pada Tahun Anggaran (TA) 2005 maupun pada tahun anggaran mendatang. "Sama sekali tidak ada rencana pembelian sidewinder, apalagi pada 2005 atau sebelumnya kita masih diembargo," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu. Ia menekankan, pada TA 2006 hingga 2009 TNI hanya memfokuskan program peningkatan kesiapan, dan bukan program belanja peralatan atau senjata baru, apalagi peluru kendali sidewinder. Djoko menegaskan, keterlibatan TNI, dalam hal ini TNI Angkatan Udara (AU), dengan PT Ataru Indonesia (PAI) hanya sebatas pada pengadaan suku cadang radar pesawat tempur F-5 Tiger. Sedangkan, sejumlah senjata lainnya, termasuk 245 rudal sidewinder, bukan pesanan TNI. "Itu akal-akalan rekanan saja. Wong kita tidak ada program untuk itu kok," katanya. Panglima TNI menekan, TNI akan bertindak transparan sesuai prosedur dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), terutama rudal. "Untuk pengadaan alutsista, termasuk rudal sidewinder, kita tidak akan melakukannya melalui pihak ketiga, tetapi melalui fasilitas FMS, atau jalur antar-pemerintah (G to G) yang kini makin terbuka dengan dicabutnya embargo," katanya. Selain itu, ia menegaskan, "Prioritas TNI untuk jangka pendek dan menengah bukan untuk membeli persenjataan baru, termasuk sidewinder, melainkan hanya meningkatkan kesiapan pesawat tempur dan angkut." Menanggapi tudingan sejumlah kalangan bahwa TNI cuci tangan dalam kasus dugaan penyelundupan senjata yang melibatkan PAI selaku rekanan TNI AU, Djoko menegaskan, TNI tidak ada niat untuk lepas tangan atau cuci tangan terhadap kasus tersebut. "Apa yang harus dicuci? Kita nggak salah. Tidak ada yang melakukan pemesanan sejumlah senjata, termasuk sidewinder, kecuali pengadaan suku cadang radar F-5, yang oleh pihak AS pun telah diklarifikasi benar dan sah," ujarnya. Ia pun menyatakan, "Kalau yang dimaksud, TNI harus bertangungjawab atas penangkapan Hadianto Djoko Djuliarso, Direktur PAI, terkait pengadaan suku cadang radar F-5, oke, kita akan bantu." Tetapi, ia menegaskan, untuk kasus yang lain menyangkut pertemuan Hadianto dengan rekanan dari Singapura untuk bisnis senjata secara ilegal, yang disebut-sebut oleh sejumlah kalangan akan diekspor ke Indonesia, maka TNI tidak akan ikut campur, karena pertemuan dan topik yang dibahas sama sekali tidak ada kaitannya dengan TNI. Pada 7 April 2006, otoritas Amerika Serikat (AS) di Hawaii menangkap empat pengusaha, tiga diantaranya berkewarganegaraan Indonesia, yang diduga akan melakukan pembelian sejumlah senjata secara ilegal. Salah seorang yang ditangkap, Hadianto Djoko Djuliarso adalah Managing Director PT Ataru Indonesia, yang sebelumnya diakui Markas Besar TNI-Angkatan Udara sebagai salah satu rekanan, khusus pengadaan suku cadang radar pesawat terbang F-5 dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pertemuan itu, Hadianto, Ibrahim Bin Amran (warga negara Singapura), Ignatius Ferdinandus Soeharli (Warga Negara Indonesia/WNI), dan David Beecroft (belum diketahui kewarganegaraannya), membahas kemungkinan penawaran 245 unit peluru kendali sidewinder, 862 unit senapan mesin, 800 unit pistol dan 15 unit peralatan sniper. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006