Jakarta (ANTARA) - Rumah Demokrasi menyarankan Pemerintah menyusun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) metode omnibus law mengenai pemilu untuk menyinkronkan berbagai ketentuan terkait penyelenggaraan pileg, pilpres, dan pilkada.

"Rumah Demokrasi mengajukan solusi. Solusinya adalah Pemerintah harus membuat perppu yang bersifat omnibus law," kata pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah, sebagaimana dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.

Dengan perppu itu, menurut Ramdansyah, menjelang Pilkada dan Pemilu Serentak 2024 sejumlah perbedaan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat disinkronkan.

Hal itu karena menurut dia pilkada dan pemilu berada pada satu rezim yang sama.

Perbedaan tersebut, lanjutnya, terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu anggota legislatif (pileg) yang dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sementara sengketa pilkada harus diproses di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Kemudian, ada pula terkait aturan sanksi pidana di pilkada dan pileg serta pemilihan presiden (pilpres) yang diatur dalam UU berbeda.

Baca juga: "Presidential threshold" dan upaya menjaring pemimpin masa depan

Dalam ketentuan Pasal 533 UU Pemilu, pemilih yang mencoblos sebanyak dua kali terancam hukuman pidana enam bulan penjara dan denda Rp18.000.000. Dalam UU Pilkada, ancaman pidana untuk perbuatan yang sama paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan penjara, serta denda paling sedikit Rp36.000.000 dan paling banyak Rp72.000.000.

Dengan demikian, kata Ramdansyah, Rumah Demokrasi menyarankan adanya pembuatan perppu bersifat omnibus law yang menyamakan aturan-aturan dalam pilkada, pileg, dan pilpres pada Pilkada dan Pemilu 2024. Selain itu, dalam perppu tersebut dapat pula diatur mengenai persoalan pemilu terkait pemekaran di wilayah Papua.

"Bagaimana tiga provinsi baru melakukan pemilihan, daerah pemilihan, dan keberadaan partai politik di sana. Diperlukan treatment (perlakuan) khusus untuk daerah pemilihan dan keberadaan kantor partai politik di sana," katanya.

Peluang bagi Pemerintah untuk menerbitkan perppu tersebut, menurut dia, telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Baca juga: MK tolak gugatan UU Pemilu diajukan Giring Ganesha

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2022, omnibus law merupakan metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan memuat materi muatan baru. Metode itu juga mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang jenis atau hierarkinya sama.

Berikutnya, mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

"Selama hal itu tidak merugikan masyarakat dan membuat pelaksanaan pemilu menjadi semakin baik, maka keberadaan perppu pemilu yang bersifat omnibus law dibutuhkan," ujar Ramdansyah.

Baca juga: MK tolak gugatan UU Pemilu yang diajukan Partai Buruh

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022