proses integrasi data ... sejak tahun 2019 sampai saat ini mengindikasikan suatu proses yang lambat.
Jakarta (ANTARA) - Bagi beberapa instansi, makna akronim ABG berbeda dengan istilah ABG pada masyarakat umum yang merujuk pada anak baru gede. Bagi instansi tertentu, akronim ABG yaitu anak berkewarganegaraan ganda.

Mengupas ABG dalam terminologi anak berkewarganegaraan ganda tampaknya tidak akan pernah tuntas. Betapa tidak, sejumlah problematika ABG tampak jelas di depan mata dan bergerak dinamis dari masa ke masa.

Permasalahan terkait ABG secara garis besar dapat dibagi tiga kategori, yakni perbedaan ketentuan hukum status kewarganegaraan dengan negara lain, kesadaran dan pemahaman warga Indonesia, ketersediaan data/dokumen, dan verifikasi status kewarganegaraan.

Persoalan ini bila diurai lebih jauh maka banyak anak cabang yang perlu dirampungkan. Kementerian/Lembaga yang berwewenang berkemungkinan kecil untuk menyelesaikan semua problematika secara tuntas. Untuk itu dibutuhkan skala prioritas dalam meminimalisasi persoalan yang mengemuka.

Di antaranya, terdapat dua kementerian yang berkepentingan, yaitu Kementerian Hukum dan HAM (Direktorat Jenderal Imigrasi/Ditjenim dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum/Ditjen AHU) dan Kementerian Dalam Negeri (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Disdukcapil).

Salah satu persoalan yang patut didahulukan penataannya adalah pendaftaran ABG.

Mengapa demikian? Bila pendaftaran ABG dapat ditata secara bersama dan terintegrasi antarinstansi yang terkait maka beberapa persoalan dapat dituntaskan. Dengan adanya pendaftaran ABG yang sistematis dan terintegrasi maka peluang kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi ABG dapat diminimalisasi.

Pertama, pepelua bagi ABG yang akan menjadi warga negara asing namun tak dikehendaki oleh yang bersangkutan dapat dihindari. Kedua, dapat mengetahui permasalahan ABG yang dilahirkan dan bermukim di mancanegara agar pemangku kepentingan dapat memberi solusi terbaik.

Dengan adanya integrasi data maka pendaftaran/pendataan ABG pada suatu instansi secara otomatis akan terekam data ABG tersebut pada instansi lainnya sehingga data statistik jumlah ABG dapat diketahui secara pasti dan periodik.

Pasalnya, saat ini belum terdapat data statistik jumlah ABG yang tercatat pada Kementerian/Lembaga terkait. Dengan adanya integrasi data maka angka kuantitas ABG dapat diperoleh. Manfaat lainnya yaitu dengan adanya angka ABG yang tercatat dan secara berkesinambungan akan dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan untuk mengambil kebijakan.

Sekitar pertengahan tahun 2019 telah ada pembahasan awal terkait integrasi data antara Ditjen Imigrasi dan Ditjen AHU bahkan terus berlanjut sampai kini yang hampir final.

Lambat

Akan tetapi jika mencermati proses integrasi data Ditjen Imigrasi dan Ditjen AHU sejak tahun 2019 sampai saat ini mengindikasikan suatu proses yang berjalan lambat. Proses yang berjalan lambat ini disebabkan adanya mutasi pejabat struktural sehingga pejabat yang baru seolah berjalan dengan agenda kerja yang baru. Hal ini karena adanya agenda lain dan hal-hal teknis lainnya yang menjadi kendala.

Di kalangan birokrat belum terbiasa melakukan estafet suatu program kerja yang patut dikedepankan. Semoga dengan adanya penyetaraan pejabat struktural menjadi pejabat fungsional pada akhir Desember tahun 2021 lalu, kelemahan ini dapat diperbaiki.

Pendaftaran ABG merupakan sesuatu yang mendasar namun terkadang luput dari perhatian para pelaku kawin campur (orang tua dari ABG).

Bagi Ditjenim, pendaftaran ABG merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh affidavit, surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda dan memberikan fasilitas keimigrasian kepada pemegangnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun pendaftaran ABG pada DItjenim belum menjadi agenda utama bagi orang tua/wali dari ABG.

Salah satu faktor yaitu terdapat ABG yang tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sejak lahir telah bertempat tinggal di Bumi Nusantara dan tidak pernah melakukan perjalanan ke mancanegara.

Hal yang senada yaitu pencatatan ABG pada Disdukcapil. Tentu saja tujuan pencatatan ABG pada Disdukcapil berbeda dengan pendaftaran ABG pada Ditjenim. Yaitu untuk penerbitan Kartu Indentitas Anak (KIA) selain itu juga bertujuan penataan administrasi kependudukan. Namun keduanya memiliki esensi yang bisa ditarik benang merah secara simultan.

Ditelisik dari segi persyaratan pendaftaran ABG dan pencatatan ABG tidak sama persis. Akan tetapi pada hakikatnya dapat bersinergi dari aspek integrasi data. Selama ini Ditjenim telah bersinergi dengan Disdukcapil, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, tapi belum pada tataran integrasi data.

Untuk itulah perlu didorong agar integrasi data dapat dimulai dan diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama tentunya.

Sedangkan bagi Ditjen AHU, pendaftaran ABG memiliki konsekuensi yang jauh lebih luas antara lain untuk memperoleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI (Kepmenkumham) terkait Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Surat Kepmenkumham tersebut sangat berarti bagi ABG dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai WNI. Namun demikian pada pelaksanaan di lapangan terdapat cukup banyak juga ABG yang tidak melakukan pendaftaran.

Hal ini mengacu ketentuan UU no.12/2006 tentang Kewarganegaraan. Ketika ABG berusia 21 tahun, anak tersebut atau walinya terlambat untuk menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia, yang pastinya akan menjadi permasalahan yang dihadapi saat ini.

Adapun menurut sebagian kalangan pada usia 21 tahun seorang anak masih labil terutama dalam memilih hal yang menyangkut status kewarganegaraannya. Meskipun penentuan kewarganegaraan dapat diputuskan oleh kedua orang tuanya.

Sesuai UU No12/2006, ABG yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan ini harus didaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM paling lambat 4 tahun setelah UU kewarganegaraan diundangkan yaitu 1 Agustus 2006.

Ego sektoral

Pada pelaksanaannya, banyak yang telat memilih kewarganegaraan dan juga tidak mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam rentang waktu yang sudah ditentukan undang-undang.

Hal ini yang mendorong diterbitkan ketentuan teranyar yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 2l Tahun 2022 tentang Perubahan atas PP No 2/2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI. Ini merupakan upaya penyelesaian terhadap permasalahan kewarganegaraan ABG yang saat ini terjadi.

Salah satu materi perubahan utama adalah mengenai tata cara pewarganegaraan bagi anak-anak yang tidak mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan anak yang telah mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 namun tidak memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia sampai batas waktu yang ditentukan berakhir.

Pada Pasal 3A (1) berbunyi: Bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang-Undang yang : a. belum mendaftar; atau b. sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang, dapat mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri.

PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 31 Mei 2022.

Akhirnya, menelisik urgensi pendaftaran/pendataan ABG pada tiga instansi terkait (DItjen Imigrasi, Ditjen AHU, dan Disdukcapil) maka sudah saatnya ketiga instansi tersebut dapat berkolaborasi terkait integrasi data ABG.

Tentu saja dalam berkolaborasi hal paling utama adalah meminimalisasi ego sektoral demi mengedepankan kepentingan bersama.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.


Baca juga: Kemenkumhan catat 13.092 anak terdaftar berkewarganegaraan ganda

Baca juga: Kemenkumham permudah pengurusan kewarganegaraan melalui PP Nomor 21

Copyright © ANTARA 2022