Balikpapan (ANTARA News) - Sekitar 200 hektare sawah dan tambak ikan milik warga RT 6 Desa Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, terendam banjir akibat meluapnya Sungai Merdeka sejak 7 Januari 2012 hingga hari ini.

"Dari seluas 200 hektare, 145 hektare di antaranya tidak bisa ditanami lagi karena air tidak kunjung turun. Malah sudah setahun terakhir ini," kata Faridah Hanum, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Abadi di RT 6 Desa Sungai Merdeka, Samboja, Selasa. 

Sawah-sawah penduduk itu, kata Faridah, kini berwujud rawa-rawa di balik perbukitan di KM 36 Jalan Soekarno-Hatta. Petani tinggal bercocok tanam di 55 lahan tersisa. Kini, lahan itu juga diterjang banjir.

"Kerugian kami ratusan juta rupiah. Yang pasti kami juga tidak jadi panen pada bulan Maret  2012. Ini artinya, kami harus membeli beras, dan tidak lagi menjual beras," kata Abdul Jabar, Ketua Kelompok Tani Setia Jaya.

Warga menduga penyebab utama banjir, terutama tambang-tambang batu bara yang ada di sekitar, baik di barat desa maupun yang ada di timur desa. Tambang itulah yang diduga oleh mereka sebagai penyebab dangkalnya Sungai Merdeka karena air hujan tidak mampu diserap tanah sehingga langsung turun ke sungai.

"Masalahnya, sebelum ada tambang tidak ada banjir begini," kata Said, warga lainnnya yang mengaku sudah bertani di Samboja sejak 1970-an.

Said lantas bercerita, sebelum ada kuasa-kuasa pertambangan kecil di timur desa atau disebutnya "tambang pribadi", banjir terjadi karena air meluap dari hulu. Oleh karena itu, mereka yakin penyebabnya adalah perubahan permukaan tanah yang dibuat PT Singlurus, tambang batu bara yang ada di sebelah barat. Sementara di sebelah timur desa, ada tiga perusahaan tambang.

"Sekarang air juga naik dari hilir karena sungainya tambah dangkal," kata Said.

Menurut Hamsyi, warga yang juga staf  Kelurahan Sungai Merdeka, mereka pernah minta tolong PT Singlurus untuk mengeruk sungai selain melihat banjir yang timbul karena kerusakan di hulu tersebut.

"PT Singlurus minta kepada warga jangan hanya pihaknya yang disalahkan, tetapi juga perusahaan tambang lainnya yang melakukan aktivitas di hilir itu," kata Hamsyi.

Warga sendiri, lanjut Hamsyi, hanya minta perusahaan membantu mengeruk sungai agar air bisa mengalir dan warga bisa bercocok tanam lagi.

Bila panen tidak gagal, kelompok tani ini biasa menjual ke pasar 3-4 ton beras per hektare ke pasar di Balikpapan atau Samarinda. "Penduduk di sini menanam padi jenis Ciherang, salah satu jenis padi unggulan yang bisa dipanen setelah ditanam tiga bulan. Dan, rencananya kami menggelar panen raya Maret mendatang," kata Faridah.

Faridah memperkirakan, jika produksi maksimal, padi Ciherang bisa menghasilkan beras antara 9 dan 11 ton per hektare. Namun, sebelum dipanen, tanaman padi berumur satu bulan di atas lahan sekitar 55 hektare itu terendam.

Tidak hanya itu, kata dia, air luapan sungan itu juga merendam seluas 3 hektare tambak ikan lele, nila, dan ikan mas. Begitu pula, lahan Sekolah Lapangan (SL) seluas setengah hektare.

"Sekolah lapangan itu berupa sawah juga, tempat kami belajar memberantas hama dan penyakit tanaman," kata Tarigan, warga lainnya.

Selain padi, masyarakat juga kehilangan ikan yang ditanam dalam kolam seluas 3 hektare. Sementara itu, ikan lele yang tidak ikut terbawa banjir, kini malah terkena penyakit. "Mana bisa dijual kalau begini," katanya.

Meskipun demikian, kata Faridah, mereka masih mencoba untuk mengobati ikan-ikan tersebut. Karena banjir dan kehilangan ikan-ikan tersebut, pasokan 300 kg lele ke pasar Balikpapan per hari nihil.

Menyinggung kerugian, dia mengasumsikan harga jual ke pengepul Rp16.000,00 per kg, maka mereka kehilangan omzet kurang lebih Rp4,8 juta per hari.

(KR-RMT/A041)

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2012