Jakarta (ANTARA News) - Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi mengeluhkan besarnya biaya melakukan riset untuk menemukan obat baru, yang mencapai kurang lebih Rp2,7 triliun.

Pernyataan ini disampaikan Direktur Kimia Farma Tbk Syamsul Arifin dan Direktur Utama Indofarma Tbk Djakfaruddin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin.

Menurut Syamsul, biaya riset relatif mahal dibandingkan dengan total pasar farmasi nasional pada 2011 yang hanya Rp42 triliun.  Dengan angka sebesar itu, tidak ada satu pun industri nasional yang sanggup memikulnya.

"Akibatnya, riset untuk produk baru hanya berkisar pada riset formulasi dengan membuat `me-too product` (meniru) dari obat baru yang telah habis masa patennya dengan meluncurkan obat generik maupun obat generik bermerek," ujar Syamsul.

Selama ini, lanjutnya, pengembangan riset ditekankan pada perlunya sinergi akademisi, bisnis dan pemerintah, yakni Badan POM.

Proses penelitian vaksin baru membutuhkan waktu yang panjang, mulai dari "survaillence" pola penyakit, pengembangan bibit vaksin, penelitian skala laboratorium, penelitian skala produksi, pra uji klinis dan uji klinis yang seluruhnya memakan waktu 12 bulan.

Dua BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia itu pun mengeluhkan sulitnya melakukan penetrasi pasar ekspor, terutama karena China dan India sudah terlebih dahulu melakukan ekspor.

"Setiap eksportir bahan baku dari kedua negara tersebut sudah mendapatkan kompensasi dari pemerintah, sehingga produk formulasinya bisa dijual dengan harga yang lebih murah," katanya.

Kedua perusahaan farmasi itu menjajaki untuk menarik investor asing guna menanamkan modalnya di Indonesia dengan strategi membentuk perusahaan patungan sebagai pemegang saham mayoritas.(*)

KR-SSB/A023

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011