Jakarta (ANTARA) - Jarang dibicarakan oleh negeri sendiri, jarang pula didatangi oleh tokoh-tokoh penting negara mungkin dapat menggambarkan secara jelas seperti apa kondisi Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebut saja salah satunya Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Timur Tengah di Nusa Tenggara Timur yang sangat bahagia bertemu dengan orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo pada Kamis (24/3).

Sebagai kabupaten nomor satu dengan angka kekerdilan (stunting) tertinggi di Nusa Tenggara Timur bahkan secara nasional yakni 48,3 persen berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, kunjungan kerja Bapak Presiden menjadi satu momen paling menyentuh bagi penduduk sekitar.

Seluruh warga keluar berlari bahkan rela bersolek menggunakan kain adat warna-warni demi menarik perhatian pria yang akrab disapa Jokowi itu.

Sembari menyapa Bapak Presiden, mereka menyebutkan harapan-harapan yang mungkin terdengar sederhana bagi warga kota. Sebut saja, mereka ingin bisa memiliki saluran air dan sanitasi yang bersih juga makan-makanan bergizi setiap hari.

“Kakak bisa lihat kah kami jarang bisa makan daging seperti ayam. Mama itu lebih suka masak kami sayur putih, telur tidak selalu bisa,” kata Fitri (12), salah satu gadis kecil yang berharap bisa dengan mudah memakan protein hewani.

Begitu masuk ke desa yang Fitri tinggali, setiap orang akan disambut sejumlah petak tanaman jagung dan rumah yang sudah dibangun dengan apik dengan cat warna-warni.

Sayangnya di samping rumah cantik itu, hiduplah keluarga-keluarga yang hidup dalam rumah yang terbuat dari kayu dilapisi seng, memiliki lebih dari dua anak dan tak memiliki jamban yang layak.

Kamar mandinya digali dan dibangun sendiri. Saat musim hujan, mereka menggunakan air hujan termasuk untuk membilas tubuh setelah selesai buang air besar. Sedangkan saat kemarau, mereka harus menempuh tiga kilometer menuju sumber air terdekat.

Potret sebuah jamban yang dimiliki salah satu warga berpotensi stunting (24/3/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Setiap hari, keluarga-keluarga itu juga mengeluarkan Rp5 ribu untuk membeli 20 liter air atau sama dengan tiga dirigen air bersih. Artinya, kebutuhan air untuk satu keluarga yang setidaknya beranggotakan ayah, ibu dan tiga anak di rumah itu saja tidak cukup.

Osias Tamean (60), Ketua RT dari desa itu mengaku iba dengan warganya. Tak pernah ada awak pemerintah datang berkunjung meski hanya bertukar sapa.

Jarak dengan kantor Bupati begitu dekat, berulang kali pula permintaan akan air bersih bisa masuk ke desa telah diajukan, namun tak ada kabar balik dari pemimpin daerah.

“Pipa sudah masuk sejak 2013 tidak ada air, tapi permohonan kami masuk ke PAM to tidak diindahkan. Kami tidak tahu alasannya, kami tiap tahun buat ajuan tapi belum ada respon,” katanya.

Jangankan air bersih, untuk bisa memiliki listrik saja mereka harus membeli token senilai Rp20 ribu per bulan hanya untuk menyalakan tiga lampu yang masing-masing diletakkan di teras rumah, dapur dan kamar mandi yang mereka bangun sendiri.

Harap maklum, kata Osias, rata-rata warganya hanya bekerja sebagai kuli atau tukang ojek dengan pendapatan Rp60 ribu per harinya itu pun kalau ramai. Bila sepi, pendapatan hanya mencapai Rp30 ribu per hari. Kemiskinan di area tempat tinggalnya memang parah, banyak penduduk juga lulus sekolah pada tingkat SD saja.

Baca juga: Ketika stunting menjadi momok yang mengkhawatirkan di NTT

Potret Tefu bersama putri ketiga (digendong) dan anak pertamanya (bawah) (24/3/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Suara penduduk NTT

Ombrianti Tefu (35), ibu dari salah satu anak yang mengalami kekerdilan, juga mengatakan apabila anak pertamanya lahir dengan berat badan 2,8 kilogram dan dinyatakan mengalami kekerdilan.

Tefu menceritakan dirinya berhenti memberikan ASI eksklusif kepada Sandi Nomleni (5), anak sulungnya itu hingga berusia enam bulan. Tefu mendengar, hal tersebut merupakan hal baik untuk dilakukan dan memilih untuk memberikan makanan lainnya.

“Karena dari petugas, dari dokter dari rumah sakit tu harus kasih ASI sampai enam bulan, tidak kasih susu formula, baru diberi makan,” ujar dia.

Albertus Nomleni (34), suami Tefu, mengaku tidak tahu kalau anaknya mengalami kekerdilan. Ia merasa kaget, padahal keluarganya terkadang menanam sayuran putih, terong dan cabai.

Namun, setelah dirinya ingat kembali, keluarganya banyak memakan sayur tapi tidak diimbangi dengan makanan yang mengandung protein hewani. Kalaupun memakan ayam ataupun telur, harus menunggu sebuah “berkat”.

Kekerdilan di desa itu, semakin diperparah karena jarak ke fasilitas umum terdekat sangat jauh. Perlu tempuh 12 kilometer untuk bisa pergi ke puskesmas satu-satunya di kecamatan itu.

Miraliem (30) yang juga seorang warga membenarkan para kader KB dan petugas posyandu selalu siap memberikan pemantauan kesehatan pada anak-anak mereka.

Para ibu juga sebenarnya ingin untuk mengikuti Program Keluarga Berencana (KB), namun jarak jauh yang harus ditempuh dengan “oto” atau motor membuatnya menjadi sulit.

“Ada dua puskesmas tapi satu ada di kecamatan lain, di sini yang paling dekat Puskesmas Siso namanya,” katanya.

“Seperti ibu-ibu melahirkan karena masih sulit, harus telepon dokter ke sini sementara para ibu sudah teriak-teriak kadang-kadang telepon oto tengah malam itu agak sulit,” Osias menambahkan.

Tak banyak pinta mereka, hanya ingin mendapatkan air bersih, memiliki rumah layak huni dan memiliki kebun untuk mereka bercocok tanam.

"Kami hanya minta ada air bersih, terima kasih kepada pemerintah ibu kota mau datang untuk melihat kami," ucap seorang warga desa lainnya, Dorecinatun (37).

Baca juga: Presiden minta angka prevalensi tengkes 14 persen tercapai 2024

Indonesia mendengar NTT

Saat berkunjung Jokowi memantau empat titik utama penyebab kekerdilan pada anak. Mulai dari calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita di bawah dua tahun.

Namun, dirinya justru menemukan kalau Desa Kesetnana memiliki banyak faktor penyebab kekerdilan. Seperti ibu hamil dengan anemia, kurangnya asupan gizi, rumah yang tak layak huni juga tidak adanya edukasi mengenai kesehatan dan pendampingan pada keluarga sedari sebelum menikah.

Presiden akhirnya meminta kepada semua seluruh kepala daerah untuk mencari strategi yang efektif guna melakukan intervensi secara terpadu.

Jokowi ikut menekankan penting bagi semua pihak untuk terlibat aktif dalam percepatan penurunan kekerdilan di Indonesia guna membentuk sumber daya manusia yang unggul di masa depan.

“Saya kira kalau intervensinya terpadu, termasuk juga urusan air di NTT ini (dapat diselesaikan). Urusan air bukan perkara yang mudah, itu juga dikerjakan, terpadu, semuanya itu yang akan menyebabkan target yang ingin kita raih 14 persen itu tercapai,” kata dia.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menambahkan guna memastikan asupan gizi para keluarga yang berpotensi terkena kekerdilan, pihaknya telah memberikan beras yang telah terfortifikasi dan mengandung zat seperti zink dan asam folat.

Beras yang diusung pihaknya bersama Bulog tersebut juga diharapkan dapat diberikan tidak hanya dalam satu atau dua kali saja, tetapi secara terus menerus.

Hasto merasa pemberian bantuan beras tersebut dapat menyelesaikan permasalahan gizi, karena sesuai dengan kondisi yang berada di desa. Sebab, setiap daerah membutuhkan penanganan khusus yang berbeda-beda, akibat adanya perbedaan kondisi geografis, budaya dan ketersediaan pangan.

Selain pemberian beras, beberapa rumah keluarga yang mengalami kekerdilan juga akan direnovasi ulang agar menjadi lebih layak dan nyaman untuk ditinggali.

Potret rumah yang perlahan mulai dibangun oleh pemerintah di Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (24/3/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Pemantauan kesehatan pada calon pengantin serta pendampingan keluarga melalui tim percepatan penurunan stunting (TPPS) yang terdiri dari bidan, kader PKK dan kader KB juga akan diberikan.

“Harus ada treatment khusus. Sebetulnya kita bisa membuat kebijakan bantuan untuk daerah yang kasusnya tinggi harus ada yang long term, harus ada yang menjamin pemenuhan gizi seimbang. Itu kuncinya,” kata Hasto.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan COVID-19 memiliki andil dalam lambatnya penurunan angka prevalensi kekerdilan di Indonesia.

Hadirnya pandemi COVID-19 memperlambat gerak penanganan kekerdilan pada anak sehingga beberapa kabupaten/kota mengalami kenaikan secara drastis.

Padahal, untuk mencapai target 14 persen di tahun 2024, pemerintah perlu menurunkan 3 hingga 3,5 persen setiap tahunnya. Sedangkan negara baru berhasil menurunkan angka prevalensi kekerdilan sebanyak 1,7 persen per tahunnya.

Muhadjir berharap semua pihak dapat berkolaborasi membantu penanganan kekerdilan. Ia juga meminta kepada seluruh pihak untuk terus disiplin menerapkan protokol kesehatan agar pandemi COVID-19 segera berakhir.*

Baca juga: Presiden: Perlu pendampingan calon pengantin untuk cegah tengkes

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022